Namaku adalah Arif (samaran) adalah siswa salah satu SMA negeri ternama di kotaku di provinsi. Aku sudah lama naksir sama cewek SMA tetangga, yah sebut saja Ira (samaran men, untuk menjaga nama baik). Anaknya cantik, banyak yang naksir sama dia, cukup populer juga disekolahnya. Sebenarnya, aku belum berani ngungkapin perasaanku ke Ira, boro-boro nembak, mau sms aja aku sudah gemetaran. Hahaha…maklum bro, aku ada masa lalu yang pahit, jadi trauma mau ndeketin cewek.
Lalu, aku punya sahabat namanya Rangga dan Tama, merekalah yang selalu menjadi tempatku berkeluh kesah kalau menyangkut masalah Ira.
Suatu hari, saat disekolah sedang tidak ada pelajaran, aku keluar kelas, mendengarkan lagu menggunakan headset sambil melamun tentang Ira. Aku begitu terbawa dengan lamunanku sehingga tanpa sadar, Rangga dan Tama sudah berdiri di sebelahku.
”Woy, kamu lagi ngapain heh! Kesambet ntar loh!”, Rangga memukul punggungku menggunakan buku ekonomi yang tebalnya 200 halaman. Sontak aku loncat berdiri.
”Heh setan, kamu pengen aku mati jantungan?!” semprotku.
”Apa lah Rif? Mesti lagi mikirin komandan yah? Hahahahaha” Tama ngikut percakapan kami. Aku dan Tama biasa menyebut Ira dengan call-sign “komandan”.
“Alaaaa….Ira mulu dipikirin. Kafe Blabag yuk! Laper neh coy!”, Rangga menyahut.
”Gak! Ogah! Gak ada duit!”, jawabku sinis.
”Hah? Tam, rika percaya?” ,tanya Rangga ke Tama dengan logat Jawa-nya yang kental.
”Ora..ora..bocah kaya iki koh.” ,jawab Tama dengan aksen yang tak kalah kental
Rangga dan Tama adalah anak pindahan dari daerah apa lah namanya. Mereka sering bicara dengan bahasa ibu mereka.
”Laaah…pada ngomong apa sih? Gunakanlah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar! Aku ga paham nih!” ,potongku dengan ekspresi datar.
”Hahahahaha…makanya kalo guru ngajar bahasa Jawa dengerin dong!”,tawa Rangga sinis.
”Udah lah, ikut aja yuk! Cepetan…ntar kita traktir deh! Mumpung pak Junaedi gak ngajar! Bentar lagi juga bel pulang kan?”, kata Tama sambil menarik tanganku.
Sebenarnya aku malas, tapi daripada didepan kelas kaya orang bego, lebih baik ikut mereka, maka aku masuk ke kelas dan keluar sambil membawakan tas Rangga dan Tama dan juga tasku sendiri. Kafe Blabag terletak di persimpangan dekat sekolahku, Cuma butuh 5 menit jalan kaki. Aku menggendong ranselku dengan malas. Memang, hari ini perasaanku tidak enak.
Setelah berjalan beberapa menit, tampaklah kafe Blabag dengan motor-motor pengunjung yang berderet rapi. Aku melihat ada satu motor yang sangat kukenal, darahku berdesir. Sekilas kulirik Tama dan Rangga, mereka seperti menahan senyum. Perasaanku semakin tidak enak. Kami pun masuk kafe, kulihat di bagian pojok kafe, ada beberapa cowok dan cewek. Semuanya masih memakai seragam SMA. Tidak ada seorangpun yang kukenal.
”Yo!”, sapa Rangga kepada salah satu temannya.
”Yo! Kabur Ngga? Hahahahaha”,sahut temannya. Kalau nggak salah, namanya Setyo, anaknya tinggi besar, khas preman terminal.
”Hei Luna. Udah lama nunggu?”,tanya Tama kepada salah satu cewek yang (setahuku) ditaksir berat sama Tama. Kemudian mereka ngobrol berdua.
Sejenak kemudian mereka semua sudah ramai ngobrol ngalor ngidul gak karuan. Aku cuma duduk manis mendengarkan dan sesekali tertawa kalau ada hal-hal lucu (gak ada yang kenal coy!). Aku melamun, prasaanku masih tidak enak sewaktu lihat motor yang diparkir didepan tadi. Aku yang tidak tahu apa-apa dengan polosnya memasang headset, menunduk dan sibuk memilah-milah lagu dari HP ku. Setelah kutemukan lagu yang pas, aku menyetelnya dan telingaku dipenuhi alunan musik favoritku, aku tersenyum dan menengadahkan kepala.
Aku tercekat. Seakan-akan ada seorang kuli bangunan veteran yang mencekikku. Di hadapanku Ira berdiri, kedua tangannya dimasukan saku jaket. Dia menatapku sambil tersenyum, manis sekali. Aku semakin megap-megap.
“Headsetan aja! Ntar budek loh!”,kata Ira sambil menyambar headsetku.
”Laporan dulu gih sama komandanmu!”,Tama menyikut lenganku.
Entah kenapa, mungkin karena terkesima dan kaget, aku hanya mampu berbicara dengan tidak jelas, “Haah? Koman….dan? Haaaaahh?”,ucapku tak jelas.
Semuanya tertawa keras sekali, Rangga tertawa sampai mengeluarkan air mata, dan Setyo memukul-mukul meja sambil tertawa. Entah seperti hewan apa mukaku saat itu, setolol apa, aku tidak tau, tapi yang jelas aku malu sekali. Aku tidak menyangka kalau Ira adalah salah satu dari kelompok kami ini.
Kemudian aku ikut aktif ngobrol bareng, ternyata mereka semua anak-anak yg baik & supel, ramah pula. Segera saja aku mendapatkan tempat dalam kelompok ini.
Sejak saat itu, kami sering main bersama dan aku mulai hafal anggota geng kami satu persatu. Aku jadi dekat dengan mereka, dan karena mereka juga, aku jadi bisa mendekati Ira lebih jauh.
----------------------------------------------------------------------------------
Kami semua semakin akrab. Waktu itu kebetulan kami main bersama-sama.
Kami memutuskan untuk berjalan-jalan di mall. Anak-anak cewek yaitu Angel, Ira, Luna dan Dian berencana melihat-lihat pakaian sementara aku, Tama, Setyo, dan Rangga akan melihat pameran gadget yang diadakan di lantai 5 mall tersebut. Kami berangkat menggunakan mobil Rangga yang cukup besar.
Seperti kebanyakan cewek-cewek kota, Angel, Luna dan Dian mengenakan kaos dan hotpants, namun Ira mengenakan kaos dan celana jeans panjang. Memang Ira memakai kaos yang cukup tertutup namun ketat dan dibagian dadanya agak longgar sehingga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang seksi dan belahan dadanya yang menantang.
Aku duduk disebelah Rangga yang menyetir, sementara Angel, Luna, Dian dan Ira duduk berdesakan di bangku tengah dan Setyo serta Tama duduk dibangku paling belakang.
Di mobil, anak-anak cewek sibuk berkicau
”Eh Ira, kamu seksi banget deh…” celoteh Angel
”Iyaa…kesannya gimana gitu…hahahaha” kata Dian dilanjutkan dengan tawa cewek-cewek lain.
Ira kelihatan salah tingkah dan berusaha menutupi bagian dadanya yang agak terbuka.
”Ah masa sih…kaosku lagi di cuci semua…aku nggak tau kalo kaos ini kekecilan”
Kemudian mereka meributkan masalah lain, seputar kosmetik, trend fashion dan banyak hal tetek bengek lain yang tidak penting bagi para cowok. Tama dan Setyo sedang sibuk membicarakan salah satu handphone di majalah gadget yang dibawa Rangga. Aku pura-pura memainkan handphone, walaupun aku sesekali melirik belahan dada Ira yang duduk di bangku tengah namun berseberangan dengan aku. Aku menelan ludah.
Ketika hampir sampai di mall, tiba-tiba hujan deras turun.
”Waaah…ujan nih, mana tempat parkiran basement penuh lagi. Guys, cari tempat lain yuk…” ujar Rangga
”Wuuuu….nggak mau! Kan disana ada pinjaman payung!” jawab anak-anak cewek kompak
”Oke…oke…whatever…hehehe” Rangga tertawa ringan dan mengarahkan mobilnya masuk ke parkiran mobil yang ada di tempat terbuka.
Setelah mobil kami diparkir, kami turun dan berlari ke sebuah kanopi. Kebetulan saat itu ada 3 tukang parkir yang akan kembali ke pintu masuk mall, mereka membawa 4 payung. Maka semuanya meminjam payung dari ketiga tukang parkir tersebut. Aku dan Ira tertinggal dibelakang. Aku melihat mereka semua menembus hujan menggunakan payung sementara aku dan Ira hanya menatap mereka.
Sudah 5 menit berlalu, namun belum ada orang yang menjemput kami.
”Lari aja yuk? Nggak sampai 100 meter inih” ucapku kepada Ira
Ira hanya mengangguk. Kami berlari menembus hujan yang ternyata cukup lebat itu.
Ketika kami sampai di pintu masuk mall, kami sudah basah kuyup, tetapi aku tidak terlalu basah karena jaketku yang water-proof.
”Waduh…maaf ya…tadi tukang parkirnya malah pergi nggak tau kemana” kata Rangga
”Iya. Kita mau minjemin payung buat kalian malah mereka pergi. Mana payungnya dibawa semua lagi” Angel menggerutu
Aku mengangguk. Kulirik Ira, ia kedinginan, tubuhnya basah kuyup. Gilanya lagi, karena kaosnya basah, maka setiap lekuk tubuhnya yang indah tercetak jelas dan belahan dadanya kini lebih terekspos. Aku menelan ludah melihatnya.
Kami melangkah masuk ke mall. Kuperhatikan, setiap pasang mata disana memperhatikan belahan dada Ira yang terlihat sangat mengesankan. Teman-teman yang lain tidak tahu karena mereka berjalan di depan.
Ira mati-matian berusaha menutupi dadanya, ia terlihat malu sekali dan tidak berani menatap orang-orang di sekeliling kami, lebih parahnya lagi, ia menggigil. Aku kasihan melihatnya, maka aku segera berlari ke counter minuman terdekat dan membeli segelas teh hangat kemudian kembali kesampingnya.
”Nih…” aku menyodorkan teh itu padanya
“Makasih Rif” jawabnya pendek. Ira langsung meminum teh hangat tersebut, namun agak canggung karena ia juga harus menutupi tubuhnya yang menjadi tontonan setiap orang di mall itu. Ketika ia mengangkat lengan untuk meminum dari gelas tadi, lekuk buah dadanya sangat jelas terlihat. Aku melotot melihatnya dan tiba-tiba ‘adik’ ku menjadi tegang, namun cepat-cepat kusingkirkan pikiran kotor itu.
Aku merasa iba, maka kulepas jaketku dan kupakaikan kepadanya lalu kurangkul tubuhnya. Terdengar seruan kecewa dari berbagai penjuru ketika tubuh Ira yang eksotis itu tertutupi jaketku. Aku menatap tajam kepada sekelompok cowok yang dari tadi tertawa-tawa sambil menunjuk Ira, ketika mereka sadar bahwa aku sedang memelototi mereka, mereka segera bubar.
Ira kaget melihat perlakuanku namun tidak menolak. Ia menatapku, tatapan yang tidak akan pernah kulupakan. Tatapannya menghujam begitu dalam, aku goyah.
Aku tidak kuasa menatap matanya lebih lama, maka aku melepaskan pelukanku dari bahunya dan memperlambat langkahku sehingga kini aku berada paling belakang. Aku malu, canggung dan merasa tidak enak dengan perlakuanku.
Awalnya aku merasa bahwa Ira akan marah besar kepadaku. Tetapi ternyata tidak, ia tetap bercanda denganku seperti biasa, namun kadang-kadang kupergoki dia sedang melirik ke arahku. Deg-degan juga, apa ini berarti ia ada perasaan kepadaku?
Suatu ketika, di kotaku ada acara besar…perayaan apa gitu, aku tidak ingat. Teman-teman satu geng ku mengajakku nonton pawai yang diadakan di alun-alun kota. Tetapi aku menolak, berhubung hari ini aku ingin cepat pulang. Kebetulan rumahku jauh dari alun-alun dan pusat kota. Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya papasan dengan beberapa orang, itu saja mereka sedang menuju ke alun-alun. Selebihnya, kota ini seperti kota mati. Aku sangat heran, sebegitu meriahnya kah perayaan itu? Aku mengendarai motorku dengan santai, ketika sampai di perempatan, kulirik lampu lalu lintas; “Hijau, tancep cuy!”, pikirku. Di tengah-tengah persimpangan tiba-tiba ada sebuah motor (Tiger kalo nggak salah) melaju ke arahku dengan kecepatan tinggi, kelihatannya pengemudinya mabuk, tanpa helm, matanya merah dan mukanya kusut, aku menginjak rem, tapi sepertinya dia sengaja membelokkan motornya mengikuti gerakan motorku. Aku tercengang. Jarak kami tinggal 1 meter.
“Anjrit! Salahku apa sih?!”,umpatku dalam hati.
BRUAAKK!!! Sempat kulihat aspal yang menjauhi pandanganku dan…..PET! Semuanya gelap.
---------------------------------------------------------------------------------
Hal pertama yang kurasakan adalah nyeri dan dingin di lengan kanan.
”Ah…aku dimana? Perasaan tadi aku tabrakan deh…apa aku udah mati?”,tanya ku dalam hati.
Kuberanikan diri membuka mata. Aku sedang berbaring di sofa. Langit-langit yang putih, aroma parfum yang manis, samar-samar kuingat bau parfum ini. Aku menoleh ke kanan dan kiri, kulihat teman-temanku duduk didekatku satu persatu, Ade, Feby dan….Ira!! Nafasku tertahan.
”Masih idup Rif? Hahahaha…”,canda Feby kepadaku
”Mujur banget loh kamu, Cuma memar di lengan doang! Motormu jadi rongsokan tuh dihalaman. Ga ada orang yang nolongin, pas ketemu Ira. Tapi…masa cowok pingsan sih?”,Ade menimpali sambil tertawa.
”Aduh! Loh kok pada disini?”,tanyaku sambil meringis menyentuh lengan kananku.
”Tadi aku dijalan pulang liat kamu lagi tidur di jalan, motormu ancur noh…jadi aku SMS Ade sama Feby, soalnya yang lain pada kejebak macet…alun-alun macet total, pas banget si Feby sama Ade belom berangkat, jadi mereka kusuruh kesini nolongin kamu”,jelas Ira panjang lebar sambil mengompres memar di lengan kananku.
Oooh….jadi ini sensasi dingin yang tadi kurasakan? Darahku berdesir…
”An angel speak to me…”,gumamku lirih.
”Hah? Apa Rif? Kamu ngomong apa? Pasti ngomong yang nggak-nggak nih! Dia ngomongin kamu loh Ra!”,cerocos Ade dengan cepat sambil nyengir.
”Apa? Apa iya? Kamu ngomong apa hah barusan?”,tanya Ira kepadaku.
”Ah nggak kok…nggak papa…gausah dipikir…hahahahaha”,jawabku.
Feby melirik jam tangannya, kemudian berkata, “Eh..eh…aku sama Ade pergi dulu yah? Uda di tungguin gebetan neh..hehehe…malem minggu cuy…hahaha”.
”Ehem…tau lah…tau…yang masih jomblo….”,sahut Ira sambil tertawa
”Cus yah men! Rif, nyetir yang bener dong! Hahahaha…yuk Ra, duluan yah!”,ujar Ade sambil mengambil helmnya.
”Okeh men? Duluan ya!!”,kata Feby sambil tersenyum. Entah kenapa aku merasa ada maksud lain dari senyuman Feby.
Ira mengantar Feby dan Ade keluar. Kulihat HP Ira tergeletak di atas meja, aku tidak mengerti kenapa, tapi aku langsung mengambil HP itu dan membuka inbox nya. Aku kaget…ternyata sangat banyak SMS yang isinya mengajak kenalan Ira, bahkan ketika aku sedang membaca SMS itu, masih ada saja SMS yang masuk. Lalu kulihat sent messages nya…aku tidak percaya dengan apa yang kulihat…Ira hanya membalas SMS ku dan teman-teman se geng ku…dan yang paling banyak adalah balasan SMS untukku. Memang sejak kejadian di kafe, aku dan Ira jadi sering SMS-an.
”Wawawawawawa……!!”,teriakku dalam hati karena senang.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Ira masuk.
”Eh, Rif, kamu udah makan apa bel………”,ucapan Ira tiba-tiba terpotong begitu melihatku tengah asyik memainkan HP nya.
DEG!
Aku kaget setengah mati.
”Aduuhh…..bego! Bego!! Ntar bisa-bisa dia marah nih! Duuh..gimana yah?”,batinku panik.
”Udah makan belum kamu? Aku mau bikin mie, kamu mau nggak?”,ucap Ira seraya merebut HP nya dari tanganku lalu duduk di lantai di sebelahku. Kulihat dia mencoba menahan emosinya.
”Eh…euh….udah…aku udah makan kok…..hehehe”,jawabku salah tingkah.
Keheningan yang tidak enak menyelimuti kami. Aku dan Ira sama-sama panik dan salah tingkah. Akhirnya kuputuskan untuk membuka percakapan.
”Eh…aku sekarang dimana nih? Dari tadi aku mau tanya lupa-lupa terus”,tanyaku sekenanya
”Ini rumahku…kamu kecelakaan dekat sini. Karena ga ada orang lain, jalan juga bener-bener sepi, makanya kamu kubawa kerumah aja.”,Ira tersenyum canggung.
”Serius nih? Aku di rumahmu? Aku ga enak woi sama keluargamu, aku kan cowok!”,ujarku dengan cepat.
”Gak apa-apa kok…semua lagi di toko, jadi ga ada orang disini”,jawabnya lirih.
“Jadi…kita…cu..cuma..ber…berdua di sini?”,tanyaku terbata-bata.
Ira hanya mengangguk pelan, dia menunduk kemudian menatap HP nya. Sekilas kulihat rona merah di wajahnya. Aku mencoba duduk dan tidak mempedulikan lenganku yang memar.
”Eh, jangan duduk dulu!”,cegahnya sambil memegangi tanganku.
Aku kaget, otomatis aku tatap matanya. Kami berdua bertatap-tatapan lama. Matanya yang teduh menunjukkan kedewasaan dan kasih sayang. Aku benar-benar speechless.
Memar di lenganku benar-benar tidak terasa. Beberapa detik kemudian Ira yang sadar duluan, dia tersipu.
”Oh iya. Aku bikin mie dulu ya…”,katanya mengalihkan keadaan.
Aku hanya diam…
Ketika dia berdiri, kutarik tangannya dengan cepat hingga wajah kami saling berdekatan.
Tubuhnya lebih tinggi sedikit dariku, mungkin sekitar 170 cm, kulitnya putih, langsing, dan buah dadanya tidak besar-besar amat namun menantang dan kelihatan sangat merangsang. Proporsional, lah. Rambutnya yang panjang lurus sebahu hitam dan terawat.
Ira menatap mataku dalam-dalam…sejenak aku ragu…”Haruskah?”,pikirku.
Kudekatkan bibirku, sepertinya Ira tidak merespon, maka aku melanjutkannya.
Kukecup bibirnya dengan penuh kasih sayang…dengan sepenuh hati. Tidak ada protes darinya, bahkan Ira malah memejamkan mata.
Kutarik dia dengan lembut dan kududukkan di sebelahku. Aku masih mencium bibirnya.
Sensasi yang kurasakan luar biasa, bibirnya hangat dan lembut. Kami berciuman kira-kira 3 menit. Dalam jangka waktu segitu, siapa sih yang gak terbakar nafsunya? Hehe…
Kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Ira sudah membuka matanya dan matanya menerawang ke langit-langit. Aku tidak tau apa yang dia pikirkan. Kusibak rambutnya, kemudian kulihat lehernya yang jenjang dan bersih, serta tercium wangi parfumnya.
Kucium leher kirinya.
”Mmmmmhh….”,Ira agak mendesah, dia meremas kedua tanganku.
Kubalikkan badannya, sekarang dia duduk membelakangiku. Kemudian kembali ku cium lehernya. Nafasku membuatnya geli.
”Uuuuuh…”,desahnya mulai tak terkendali
Tanganku membuka kancing seragamnya satu persatu. Ira memegangi tanganku, tetapi tidak melakukan perlawanan. Yaa otomatis kupikir ini lampu hijau. Heehehehe…
Setelah setengah seragamnya terbuka, kulihat bra nya yang berwarna krem, yang langsung kuturunkan. Kini dapat kulihat payudaranya, yang ternyata cukup besar dengan puting berwarna pink. Kulitnya luar biasa mulus.
”Ehm….ehm…!!”,Ira berdehem menyindir perlakuanku.
”Apaaaa? Kenapaaa??”,jawabku sambil nyengir.
Kuraba kedua payudaranya dengan tiba-tiba. Tubuhnya mengejang sekali, kaget kali yaa?
Langsung saja kuremas kedua payudaranya dengan lembut dan kupagut bibirnya.
”Nnnggggghh……mmmhh…!”,desahnya diantara ciuman kami.
Kupilin kedua putingnya. Kumainkan jari-jariku di kedua payudaranya.
”Nngg….aaaaahh….aaaahh…!”,Ira melepaskan bibirku dan lebih berkonsentrasi mendesah.
Aku tidak keberatan, biar dia merasakan rasanya jadi cewek.
Punggungku mulai kesemutan, maka kurebahkan Ira di sofa, namun dia menolak.
”Jangan….jangan…aku nggak mau…!”,ujarnya dengan nafas yang mulai memburu.
Aku memandangnya dengan bingung. Ira mengelus pipiku, matanya sayu khas cewek terangsang.
”Maksudku….jangan…disini…pindah ke kamarku aja yuk”,katanya sambil tersenyum.
Waduh….bisa berabeh ni kalo di kamar, ntar kebablasan bisa repot! Tapi, instingku mengabaikan logika. Hehehehe….segera saja kuangkat tubuhnya dan kugendong, kalau sudah seperti ini, tangan patah pun tetap akan kugendong, hehehehe.
”Yang mana nih?”, aku tersenyum
”Itu”, jawabnya singkat sambil menunjuk sebuah pintu.
Tanpa buang waktu, kubuka pintu kamarnya, kubaringkan Ira di kasur dan cepat-cepat kututup pintu dari dalam. Langsung saja kulanjutkan permainan yang tadi sempat berhenti. Aku berbaring di sebelah kanannya dan mulai menciumi lehernya.
”Uuuh….uuuhh….”, Ira mendesah sambil mengrenyitkan alisnya.
Tanganku perlahan-lahan masuk ke dalam roknya. Kususuri dari perut dengan penuh penghayatan. Ketika akhirnya tanganku meraba celana dalamnya, aku menahan nafas.
Kuselipkan tanganku masuk celana dalamnya. Ternyata Ira sudah mencukur habis rambut kemaluannya. Segera saja ku gesek-gesekkan jari tengahku ke vaginanya.
”Hmmmff…..uuuaaaaaaahh…..aaaahh…aaaahh…!”,naf asnya tersengal-sengal dan desahannya berirama sesuai dengan gesekan jariku.
Ira mencengkeram tanganku dengan kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
Ekspresinya begitu merangsang, penisku yang sedari tadi sudah tegang menjadi sangat tegang sampai-sampai celana dalamku terasa bagai belenggu, menyiksa ‘adik’ku.
”Gimana rasanya Ra? Enak?”,tanyaku
”Aaaahh…..e…uuuhhh…enaaakk….enaaaakk…..aaaahh…!!”, jawabnya setengah menjerit.
Melihatnya sangat mudah terangsang, aku berinisiatif mengulum putingnya. Kuremas buah dadanya dan kujilat-jilat.
”Ngggghh…..aaaaahh….aaaahh….iiyaaa….eee…eeenaaakk… .tee..teruusss..”
Ira mulai meracau, sepertinya dia sudah amat terangsang.
Kumainkan lidahku di putingnya dengan liar. Ira semakin kelojotan.
”Aaahh…aaa..ada yang…aaauuhh….mau….uuhh…keluaaaarrrhh!” ,katanya dengan nafas yang tidak beraturan.
”Eh? Oh…keluarin aja nggak apa-apa!”,jawabku sambil terus menjilati putingnya.
Sesaat kemudian tubuhnya bergetar hebat dan menegang. Ira mencengkeram tangan kananku kuat sekali, hingga kuku-kukunya menancap dan melukai tanganku. Luka-luka itu berdarah, tapi hal itu tak kupikirkan. Aku menikmati saat-saat Ira orgasme sambil tersenyum.
”A..apa yang barusan itu?”,tanyanya dengan nafas tersengal-sengal.
”Loh? Kamu belom tau?”,aku balik bertanya.
”Nggak…nggak tau…emang apaan?”,ujarnya lemas, kehabisan tenaga.
”Itu yang namanya orgasme…masa sih kamu gak tau?”,tanyaku heran.
”Ooh…sori..aku ga tau masalah begituan…tapi..rasanya enak banget…gak bisa dijelasin pake kata-kata”,Ira tersenyum.
Aku heran dan berpikir, “Berarti dia polos banget sampe gak tau yang namanya orgasme. Lagian, gampang banget dirangsang…coba ah yang lebih.”
Aku meringis saat tanganku yang luka bergesekkan dengan seragam yang kukenakan. Ada sepuluh bekas kuku, semuanya meneteskan darah segar. Aku berdiri dan mengambil sekotak tissue di meja belajar Ira dan mulai mengelap darah yang bercucuran.
”Itu…maaf…sakit ya?” , tanyanya dengan wajah bersalah ketika melihat tanganku berdarah.
”Nggak…nggak apa-apa kok…hehehe…santai aja!”, jawabku sambil tertawa.
”Aku jadi nggak enak…kamu abis kecelakaan malah jadi tambah luka gara-gara aku”, desah Ira.
”Udah…gak apa-apa…sekarang kamu diem yaa?” aku berjalan ke arahnya.
Aku duduk disampingnya, tanganku menyelinap ke dalam roknya dan melepas celana dalamnya yang sudah basah. Ira tidak dapat berbuat apa-apa, kelihatannya dia masih sangat lemas karena orgasme barusan.
”Kamu mau ngapain Rif?” tanya Ira, kelihatannya dia khawatir.
Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya. Saat sudah kulepas, celana dalamnya kulempar entah kemana, maklum, nafsu udah di puncrit, kaga bisa nahan.
Kusingkap roknya hingga dekat pangkal paha, memperlihatkan pahanya yang suangat mulus, liurku menetes melihatnya. Ku elus-elus pahanya.
”Aaaawwwhhh……”, Ira kembali mendesah karena perlakuanku.
Kudekatkan wajahku kearah vaginanya. Vagina yang begitu bersih, berwarna pink, tanpa ada bulu sedikitpun dan aromanya enak. Wangi parfum yang biasa dipakai Ira samar-samar tercium, “Apa dia nyemprotin parfum ke sini juga ya? Ah bodo amat!”
Ketika hambusan nafasku mengenai daerah sensitifnya, dia berkata;
”Rif, mau ngapain kamu? Ntar…ntar dulu…aku belum siap kalo sampai kayak gini…stop…stoopp…aaaaahhhhh!!!”, Ira menjerit ketika kubenamkan lidahku kedalam vaginanya.
Segera saja vaginanya kulumat, kujilat dengan liar, kucium dan kugigit-gigit kecil.
Benar saja, kakinya mengejang setiap kali kugigit klitorisnya.
”Aaaaaaaaaaaaahhhh…..aaaaahhhhh….uuuuhhh….sssshh…s sshhh…..!!”, desahannya semakin menggila, membuat ‘adik’ku ingin cepat memproklamasikan kemerdekaan dari belenggu penjajahan celana dalam.
Rasa nyeri menyerang ‘adik’ku ketika celana dalam ini rasanya sudah kelewatan menyiksa, tapi tetap kutahan. Di luar dugaan, Ira mulai menangis, air matanya mulai mengalir disela-sela desahan penuh kenikmatannya. Aku jadi bingung, kuhentikan jilatanku.
”Ra, kamu kenapa nangis?”,tanyaku berdebar-debar.
”Aku…udah capek Rif…aku udah nggak kuat kalo kamu terus-terusan ngeginiin aku…”, katanya dengan polos sambil terisak-isak.
Aku diam saja.
”Bukannya aku nggak mau, tapi aku udah capek banget…dari tadi, badanku rasanya lemes…tangan sama kakiku udah mati rasa. Aku udah gak kuat.”, jelasnya.
Demi mendengar pengakuannya, ‘my little brother’ yang sudah berkibar dengan gagahnya seperti kehilangan tenaga, sontak ‘adik’ku lemas lagi, bak nasionalis dibedil kompeni. Aku merasa bersalah.
Tanpa berkata apa-apa, aku berjalan ke lemari pakaian Ira, mengambil satu celana dalam dan memakaikannya pada Ira. Kubereskan sprei yang acak-acakan akibat pertempuran tadi, kurapikan bra-nya yang lepas dan kukancingkan seragamnya. Kuangakat Ira dan kurebahkan kepalanya di bantal kemudian kuselimuti dengan selimut tebal. Ira menatapku dengan pandangan heran.
”Rif? Kamu marah ya? Please, ngertiin aku…aku capek banget…gak kuat”, ucapnya memelas. Namun aku masih juga tidak berkata apapun.
”Ra, aku….sebenernya udah dari dulu mendam perasaan ke kamu. Aku…aku…sayang sama kamu…”, ucapku, aku tidak menyangka bakal mengutarakan perasaanku di saat seperti ini.
Dia tertegun mendengar pernyataanku.
”Mmm…Rif…aku…”, sepertinya Ira mau mengatakan sesuatu, tapi buru-buru kucium bibirnya dan aku berlari keluar kamar.
Aku berjalan ke ruang tamu, memakai ranselku dan mengambil helm. Saat aku keluar halaman rumah Ira, kulihat motorku yang ringsek seperti gelandangan digebuki Satpol PP. Aku nyengir; “Hahahaha…shiit…aku pulang pake apaan nih?”, kataku pada diri sendiri. Akhirnya aku pulang jalan kaki sekitar 4,5 km ditemani hujan yang sangat lebat.
Sesesampainya dirumah, ada secarik kertas ditempel di pintu yang bertuliskan :
”Mama dan Papa pergi seminar di luar kota, kira-kira satu minggu. Urus diri sendiri ya? Kalau ada apa-apa, telpon Mama atau Papa.”
“Gila…aku idup pake apaan nih 1 minggu? Makan kerikil?”, umpatku.
Malamnya badanku terasa tidak enak. Benar saja, esok paginya aku demam tinggi, maka kuputuskan untuk tidak masuk sekolah. Siang harinya aku bangun kemudian mandi, tak lama setelah itu, ada orang menggedor-gedor pintu rumah dengan kasar.
Dengan sempoyongan aku membukakan pintu, dihadapanku berdiri sesosok makhluk dengan ukuran tidak manusiawi, tinggi besar dan hitam. Tetapi setelah kuperhatikan, ternyata dia adalah Setyo.
”Kok gak masuk tadi coy?”, tanya Setyo ceria.
”Loh? Tau darimana? Perasaan kita beda SMA deh…”, aku kebingungan.
”Itu, Rangga tadi SMS, dia mau jenguk bareng Tama, tapi ada tugas mendadak, jadi nggak jadi.”, ujarnya sambil meringis-meringis.
“Ni orang otaknya kenapa sih?”, tanyaku dalam hati.
”Oh, yaudah masuk dulu…aku demam coy…kepalaku sakit banget…”, kataku sambil mempersilahkan Setyo masuk.
”Nggak ah, makasih, aku mau langsungan..hehehe”, jawab Setyo cengar-cengir.
”Ini orang kenapa sih? Aku bener-bener nggak ngerti”, pikirku.
“Aku pulang dulu ya Rif, cepet sembuh coy!” kata Setyo sambil berjalan keluar gerbang
”Iyaa…makasih ya Dan!”, sahutku ceria.
Ketika Setyo telah pergi, ternyata tepat di belakang tempat Setyo berdiri tadi ada sesosok makhluk lain yang memperhatikanku, dia mengenakan pakaian putih dan menyeringai. Rasa dingin merayapiku.
”Woi! Kaya liat setan aja! Kenapa sih?”, tanya Ira membuyarkan lamunan horrorku.
”Eh? Loh?”, tanyaku kebingungan.
“Emang mukaku kaya setan yaa?”, tanyanya lagi dengan bibir manyun.
”Ah, bukan..bukan…tadi aku halusinasi…maaf.”, jawabku.
“Jadiiii…..?” ,tanya Ira, dia tersenyum.
”Jadi apaan?” ,aku semakin kebingungan.
”Aku gak disuruh masuk atau gimana gitu?” ,sindirnya sambil tertawa.
”Oh iya….maaf…ayo masuk…maaf berantakan…” ,aku mempersilahkannya masuk.
Begitu aku membalikkan badan setelah mengunci pintu, Ira tidak ada di ruang tamu. Aku kebingungan…apakah yang kulihat tadi hantu? Perasaanku jadi tidak enak, maka kuputuskan untuk tidur lagi. Mungkin aku terlalu lelah. Ketika aku masuk kamar, tiba-tiba pintu kamarku tertutup sendiri. Aku mematung ketakutan. Pelan-pelan aku menoleh ke belakang dan melihat Ira sedang nyengir melihat reaksiku dengan gayanya yang khas, kedua tangannya dimasukkan saku jaketnya yang berwarna putih.
”Eh kunyuk, udah tau aku lagi sakit, masih aja jail.” ,aku duduk di tepian tempat tidur sambil menghela nafas.
”Iya maaf…hehehe…gimana sakitnya?” ,Ira duduk disebelahku.
”Udah ada kamu, jadi aku udah gak apa-apa.” ,aku menatap matanya sambil tersenyum.
Ira tampak terkejut mendengar jawabanku. Sejenak kami saling berpandangan. Perasaan hangat membuncah dari dalam hatiku…aku cinta mati kepada cewek di hadapanku ini.
Matanya yang paling kusuka, mata yang teduh itu, mata yang memancarkan ketenangan dan kedewasaan yang begitu dalam.
”Ah iya. Aku bawa makanan nih. Tadi aku beli di kantin.” ,katanya mengalihkan pembicaraan.
”Aku kan udah bilang. Kamu ada disini aja udah cukup.” ,kataku sambil memeluknya dari belakang, kulingkarkan tanganku di pinggangnya, berharap Ira bisa merasakan kehangatan yang mengalir dari hatiku.
Dia terdiam sesaat, sepertinya ia merasa canggung. Tetapi tidak mengubah posisinya dan melanjutkan menawari aku berbagai macam makanan.
”Aku juga bawa buah loh. Mau nggak? Ada macem-macem, ada apel, jeruk, pear. Mau yang mana?” ,tanyanya dengan terburu-buru. Ira mengeluarkan sebuah apel dari dalam tasnya.
“Kamu sekolah apa kondangan sih?” aku mengejeknya
“Hehehhe…sekolah, tapi buku pelajaran udah aku taruh dirumah tadi” Ira tertawa
Aku menyandarkan kepalaku di bahunya. Menikmati tiap detik yang kulalui, aku merasa tenang mencium wangi tubuhnya. Aku…ingin begini selamanya…
”Aku mau dong buahnya.” ,jawabku.
”Oh? Mau yang mana?” ,tangannya masih menggenggam sebuah apel.
”Aku maauuu….” ,rengekku dengan manja.
”Iyaaa….mau yang mana ? Apel? Jeruk? Pear?” ,jawabnya sambil tersenyum.
”Gaak….aku gamau semuanya….” ,bantahku.
”Loh? Katanya mau buah? Yang mana nih?” ,Ira tampak kebingungan.
”Aku mau buah yang ini…” ,tanganku dengan sigap melepas kancing seragam dan menyelinap ke balik bh yang dipakainya. Kuremas-remas buah dadanya dengan lembut.
”Aaaaaahh…..Rif jangan…!!” ,desah Ira, apel yang ada ditangannya jatuh ke lantai.
Langsung saja kulumat bibirnya.
”Mmmmmhh…..mmmhh….!” ,Ira berusaha mendesah, tetapi terhalang oleh bibirku.
Tangan kiriku menyusuri buah dadanya, kemudian turun ke perut, masuk ke rok lalu kuselipkan kedalam celana dalamnya. “Belum basah.” ,pikirku. Kutarik tangan kiriku dan kujilat jari tengahku, kemudian kuselipkan lagi masuk celana dalamnya. Langsung saja kugesek-gesekkan jariku ke vaginanya.
”Iyaaaaaaaahh….aaaaaaahhh….aaaaahhhhh….aawwh…mmmhh …!!” ,Ira mendorong bibirku menjauh agar bisa mendesah, nafasnya sudah tidak beraturan.
Mulutku kini bebas. Langsung saja kupakai untuk menciumi leher jenjangnya yang menggairahkan. Beberapa menit aku mengerjai Ira dengan menambah intens gesekan dan remasan di tubuhnya tiap menit yang berlalu. Kamarku kini dipenuhi suara desahan dan lenguhan nikmat Ira.
”Aaakuu….aaaahhnn….aaaahh….nggghh….maauu….aaahh…aa ahh….keluaaarr….uaaaaahh….!” ,pekiknya tertahan.
Pahanya mengapit erat tangan kiriku, sementara kedua tangannya mencengkeram tangan kiriku juga. Kini kuku-kuku kedua tangannya kembali menancap di tanganku, kali ini tangan kiri. Tubuhnya mengejang hebat, sesaat kemudian Ira jatuh terduduk di lantai kamarku. Nafasnya tersengal-sengal, karpet lantai kamarku basah oleh cairan orgasmenya.
”Ihiiy…ciyee…ciyeee…yang habis orgasme…hahaha” ,candaku.
”Berisik! Diem lah kamu…! Haahaha” ,jawab Ira, bibirnya bergetar hebat.
”Iya..iya…nambah juga nih koleksi tattoo di tanganku. Kemarin yang kanan, sekarang yang kiri…hahaha…” ,sindirku
“Ma…maaf…aku nggak sengaja…sungguh…”
”Iya, nggak apa-apa kok…” ,jawabku singkat
Kubantu dia berdiri, sesaat kami berpelukan, kutatap matanya…mata yang indah yang selalu kudambakan…kemudian kucium bibirnya dengan lembut…
Kulepas sepatunya yang dari tadi masih dipakainya dan kutidurkan dikasur. Aku berbaring di sampingnya. Setelah nafasnya teratur, tiba-tiba dia berdiri dan melepas rok beserta celana dalamnya.
”Eh…eeh…mau ngapain kamu? Mabok yah?” ,tanyaku terkejut sekaligus heran.
”Hehehehe…” ,Ira hanya terkekeh.
Sekarang dia hanya mengenakan seragam yang sudah kusut dan kancingnya terbuka setengah, tanpa rok maupun celana dalam. Sontak ‘adik’ku menegang dengan hebatnya, jadi keras kayak mayat siap dikubur.
Dengan cepat, Ira menidurkanku, sekarang posisi kami 69, favoritku. Hehehehe…
Vaginanya tepat berada didepan wajahku.
”Ih…wooww…” ,gumamku takjub.
”Kenapa?” ,tanya Ira
”Unyuuuuuu…..hahaha” ,langsung saja kugesek-gesek vaginanya dengan jari.
”Aaaaahh….na…nakal…!” ,desahnya dengan manja
Ira mengelus-elus penisku dari luar celana yang kukenakan. Geli gimana gitu. Jadi tambah tegang.
”Eh, Ra, kamu serius nih? Udah pernah kaya ginian belum?” ,tanyaku tidak yakin
”He eh…santai aja. Belom…ini yang pertama. Hehehe” ,dia membuka celanaku
”Apa gapapa nih? Yakin kamu?” ,aku masih belum yakin.
”Iiih…gak percaya amat. Coba aku praktekin kayak tadi malem waktu aku liat bo…….kep?” ,kata-katanya sempat terhenti ketika celana dalamku sudah terlepas dan ‘adik’ku dengan gagah berdiri, dengan bentuk evolusi akhir.
Aku pun agak kaget; “Woi! Itu kamu ‘dik’? Kamu kenapa hah bisa sampe kaya gitu?” ,tanyaku kepada sang ‘adik’ dalam hati.
“Hehehe…jadi malu…” ,aku tersenyum
”Wow…ternyata gini toh…anunya cowok…” ,tatapnya penasaran sambil memegang batang penisku. Rasanya aneh, tapi enak.
”Eh, apa tadi malem kamu nonton bokep?” ,tanyaku
”Iya…yaa walopun aku sempat muntah ngeliatnya…baru pertama aku liat bokep..” ,jawab Ira tersipu.
Tanpa ba bi bu, Ira langsung memasukkan penisku ke mulutnya dengan agak canggung. Dia jilati dari ujung ke pangkal. Rasa dingin sekaligus hangat menyelimuti penisku. Tiap gesekan dengan lidahnya membawa sensasi nikmat, membuatku merinding.
”Oooohh…..” ,aku mengerang, seluruh tubuhku gemetar karena nikmat
”Coba aku praktekin kayak yang di bokep ya?”
Dia memaju-mundurkan kepalanya, penisku keluar masuk mulutnya dengan bebas.
Ketika aku menyentakkan pinggulku, penisku masuk terlalu dalam ke tenggorokannya.
”Hmph…” , Ira memejamkan matanya rapat-rapat saat penisku masuk sampai tenggorokannya
”Uups…sori…gimana rasanya?” ,kataku.
“Mmm…ga terlalu buruk kok…tapi aneh sih…” ia melepaskan penisku dari mulutnya supaya bisa berbicara.
Ku belai-belai dan kubuka sedikit bibir vaginanya. Dari sini, aku bisa melihat jelas klitorisnya yang waktu itu belum sempat dieksploitasi besar-besaran oleh lidahku. Kuhisap klitorisnya, kugigit kecil dan kubelit dengan lidahku. Responnya diluar dugaan.
”Mmmmmmuaaaahhh…..aaaaarrrghhh….!! Disitu…aaaaagghh….aaaahh…aaahhh…” ,teriak Ira. Dia melepaskan penisku dari mulutnya, ia menjerit dan kepalanya mendongak keatas.
Kemudian kepalanya terkulai lemas disamping penisku yang masih dengan angkuh berdiri. Sesekali dia menjilat batang penisku dengan lemah. Wajahnya sayu, kelelahan. Melihatnya dalam kondisi seperti ini, nafsuku semakin meledak. Serangan lidahku semakin gencar di klitorisnya.
”Ngggghhh…..aaahhh…aaaahhh….uuuuhhh…..mmmhhh…..ter us Riff…terusin…ooohh….iyaaaahh…” ,matanya terpejam dan nafasnya pendek-pendek.
Beberapa detik kemudian, Ira menekan vaginanya ke mulutku dengan kuat, aku megap-megap. Tubuhnya bergetar hebat.
”Riiiiiiiiifff……aku….keluaaaaaaaaaaarrr….!!” ,jeritnya.
Dia mengalami orgasme yang kedua kalinya. Cairan orgasmenya membasahi mulutku. Euh…baunya aku tidak tahan. Segera setelah itu, dia terkulai lemas diatas tubuhku.
”Makasiih Ra…mulutku basah semua!” ,ujarku kepadanya dengan nada sinis.
”Mmmmhh…?” ,matanya terpejam dan kelihatan sangat lemas
Aku duduk dan mengangkat pinggulnya dari belakang. Dari posisi ini, aku dapat melihat punggungnya yang basah oleh keringat dan wajahnya yang kelelahan.
“Sekarang, gantian yaa” ,ucapku santai. Dari belakang, kulucuti semua pakaiannya hingga dia telanjang bulat.
“Jangan…Rif…aku masih virgin…” ujarnya lirih, nafasnya berat dan pendek
Ira masih tersengal-sengal ketika kutempelkan penisku di vaginanya. Aku tahu kalau dia tidak akan melawan, pasti sudah kelelahan akibat dua kali orgasme. Dengan bantuan tangan, kujejalkan penisku yang sudah basah masuk ke dalam vaginanya.
Separuh kepala penisku ditelan vaginanya.
“Aaaargh! S-sakit Rif! Sakiit!! Cabut! Jangan diterusin! Aaaarrggghh!!” ,Ira berteriak keras sekali. Matanya terbelalak, tangannya menggapai-gapai meraih penisku, mencoba mencabutnya.
Dengan kedua tanganku yang masih bebas, kutekan bagian sikunya sehingga dia tidak dapat menjangkau penisku. Dengan satu hentakan keras, kujejalkan penisku seluruhnya. Kini seluruh penisku telah masuk. Darah segar mengalir pelan dari bibir vaginanya.
”Aaaaaaaahhhh!!” ,Ira berteriak pilu dan mulai menangis.
Rasanya enak sekali, walaupun sempit, tapi vaginanya hangat dan meremas-remas penisku. Uuuh….nikmatnya. Pelan-pelan kupompa penisku keluar masuk vaginanya.
Kugenjot Ira beberapa menit sampai kemudian kudengar desahan disela isak tangisnya.
”Lama-lama enak kan?” ,tanyaku sambil tersenyum
”Sakit…” ,air matanya mengalir
Beberapa saat kemudian, ketika sudah mulai terbiasa, Ira sudah tidak lagi menangis namun mendesah tidak karuan. Aku tersenyum. Kupompa lagi vaginanya dengan kekuatan penuh.
”Auh…uuh…teruss Rif…cepetin…aaahh…iyaa…disitu…mmhh…teruss..” ,Ira meracau.
Kubalikkan badannya sehingga kini dia telentang dihadapanku. Kugenjot vaginanya dari depan.
”Uuuhh…..enak Ra…aahh…aahh…” ,aku sudah tidak mampu menahan desahan.
”Iyaa…aaahhh…aku juga….uuuhh…enaakk….teruss Riiiff…ooohhh…” ,sahutnya.
Aku tidak merubah posisiku. Aku dan Ira terus bermain pada posisi ini sampai kira-kira 20 menit, hingga mendekati klimaks.
”Kkamu…selesai dapet kapan Ra…?” ,tanyaku sambil menahan nafas
”Tiga…aaaahh…hari yang lalu…aahh…ngghhh…” ,lenguhnya
”Hmff…aku…hampir…sampai….aaahh…ahhh….” ,ujarku
”Aku….uuh…juga…aaahh…”
Penisku berdenyut-denyut.
”Kita…keluar…bareng yaa…” ,kataku
Beberapa detik kemudian, aku rebah dan memeluk tubuhnya dengan erat
”Akuu…..keluaarr…incoming……!!” ,aku mengerang
”Aaaaaaaaahhhhhh…..!” ,jawab Ira dengan jeritan
”Aaaaaarrrrrgggghhhh!!!” ,kami berdua mengerang pada saat yang bersamaan
Croott…crooottt…crooott…spermaku mengalir dengan deras didalam vaginanya.
Pada saat bersamaan, Ira juga mengalami orgasme. Vaginanya meremas penisku dengan kuat, tubuhnya mengejang dan melengkung.
Kami berdua memejamkan mata dengan rapat dan saling berpelukan, menikmati tiap detik sensasi yang kami rasakan. Rasa hangat mengalir keseluruh tubuhku. Tubuhku dan Ira sama-sama bersimbah keringat. Aku melepas pelukan dan membaringkan diri disampingnya
Aku menoleh, kutatap wajahnya yang dipenuhi berbagai macam ekspresi, antara lelah, senang, puas, sedih, dan takut. Semua bercampur jadi satu.
“Kamu udah ngambil virginitasku Rif…jangan tinggalin aku…” Ira berkata sambil menahan tangis
”No matter what happen, even when the sky is falling down, I promise you that I will never let you go. Aku sayang banget sama kamu Ra…makasih ya..” ,ucapku sambil tersenyum, lalu kukecup keningnya.
Ira hanya tersenyum sedih dan menyandarkan kepalanya di dadaku kemudian terlelap. Kupeluk dia dengan penuh kasih sayang. Kutarik selimut hingga sebatas dadaku dan aku pun tidur.
Malam itu, Ira menelpon rumahnya untuk memberitahu bahwa dia sedang menginap dirumah teman ceweknya, padahal dia sedang tiduran denganku di kamar. Ini malam minggu, jadi aku tidak perlu khawatir.
Minggu pagi…
Aku merasa silau karena sinar matahari pagi tepat mengenai mataku. Aku bangun dengan malas. Ketika kulihat kesamping, Ira masih terlelap tanpa pakaian. Spontan ‘adik’ku kaget setengah mati dan melonjak tegang.
”Auh!” ,aku agak berteriak karena merasa ‘adik’ku senut-senut.
”Mmmh…udah pagi ya?” ,Ira terbangun mendengar suaraku.
Sejenak dia mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian ketika matanya sudah terbiasa, dia terbelalak mendapati dirinya tidak memakai pakaian apapun dan melihatku berbaring disampingnya tanpa mengenakan pakaian.
”Halo Ra! Paa--”
PLAKK!!!!
Satu tamparan sukses mendarat di pipi kananku. Dia buru-buru menutupi tubuhnya dengan selimut.
”Apa-apaan sih?! Pagi-pagi aku udah dianiaya!” ,kataku sebal sambil mengusap-usap bekas tamparannya dipipiku.
Ira tampak bingung. Kemudian setelah melihat sekelilingnya, dia baru sadar.
”Aduh! Maaf Rif! Aku nggak inget kalo semalem aku tidur sama kamu..!” ,ujarnya panik
”Grrrr…!!” ,aku menggeram marah
Ira tampak ketakutan melihat reaksiku. Tangannya agak gemetar.
Segera saja kuterjang dia, aku melompat dan mendarat diatas tubuhnya, kedua tangannya kutahan.
“Kamu ini!” ,geramku, kemudian kucium lehernya dengan lembut.
”Aaahh…maaf Rif…aku…mmmhh….nggak sengaja…hhh…” ,desahnya.
Kugesek-gesekkan penisku di selangkangannya sementara lehernya masih kucium.
Ketika tanganku sudah mulai turun ke buah dadanya, HP ku berbunyi dengan nyaring.
Spontan kuhentikan aktivitas dan kuraih HP ku. Sepintas kulihat raut wajah Ira yang sebal karena merasa terganggu, kemudian ia menarik selimut hingga ke atas kepala..
Cih! Ganggu aja ni orang...
Ada panggilan masuk. Kulihat nama yang tertera di layar HP ku : Rangga.
”Yo Ngga! Kenapa?”
”Dasar! Dari tadi malem aku telpon kamu tapi nggak diangkat!”
“Sori…sori men…kagak denger…! Ada apa?”
”Mau tanya keadaanmu gimana. Katanya sakit, kok ceria gitu?”
”Ah…udah sembuh…makasih…”
”Eh, kita-kita mau pada main nih ikut nggak?”
”Motorku ancur Ngga…mau naik apa?”
”Udaah…kumpul dirumahnya Tama, jam 12 yaa. Bawa baju ganti buat 3 hari.”
“Eeh, tunggu Ngga!”
Belum sempat aku menyelesaikan kata-kata, panggilan sudah diputus oleh Rangga.
Aku mematikan HP dan berjalan ke arah Ira yang meringkuk dibalik selimut.
Aku masuk ke balik selimut, tanganku meraba-raba.
”Iraaaa…..” ,kataku ketika tanganku sudah menemukan apa yang kucari.
”Kenapa? Aaaww…masih pagi udah ngremes-remes susu…geli tau!” ,jawab Ira sambil menyingkap selimut dan mencoba menyingkirkan tanganku dari buah dadanya.
Ira tersenyum, senyum yang manis sekali dan aku merasa nge-fly mengetahui bahwa senyum itu ditujukan padaku.
”Biar deh…hehehe…peluk dong!” ,ucapku dengan manja
”Iih..manja amat sih…” ,ejeknya, tetapi dia tertawa lalu memelukku.
Kami berdua berpelukan dengan mesra. Aku meletakkan kepalaku di dadanya. Terasa kenyal dan hangat. Aku merasa sangat nyaman, kunikmati setiap jengkal kulitnya yang mulus di tubuhku.
”Ssstt…liat sini deh..” ,panggilku
”Hmm?” ,ia menunduk menatap wajahku
Segera saja kucium bibirnya dengan lembut. Bibir kami bertautan cukup lama. Aku melepaskan bibirku dan kutatap matanya. Mata yang tidak berubah, mata yang selalu membuatku terpesona. Ira membuatku benar-benar jatuh cinta padanya. Kami berpelukan lagi.
Setelah membersihkan diri, aku mengantar Ira pulang naik motorku yang satunya.
Kemudian aku langsung menuju ke rumah Tama. Entah kenapa Rangga menelepon tidak jelas seperti itu.
”Hoi! Sori telat!” ,kataku kepada teman-teman se geng ku. Mereka sedang duduk diteras.
Aku membuka pagar dan masuk ke halaman rumah Tama
”Aaah ga asik ah! Pacaran mulu!” ,ejek Setyo
”Pacaran your head! Punya juga belom” ,bantahku sambil tertawa
”Udah udah…gini loh, mobil ayahku nganggur nih. Besok kita libur 1 minggu. Mau main kemana?” ,jelas Tama
”Kepantai yuuk!” ,usul Rangga dengan senyum lebar
”Pantai? Bosen cuy…yang lain coba…” ,tolak Setyo
“Gimana kalo kita ke gunung gitu?” usulku
”Yaaa! Boleh! Tapi mau kemana?” jawab Tama semangat
”Ada tempat yang bagus sii…telaga di dataran tinggi, ada camping groundnya juga.” ucapku sambil menyebutkan nama suatu daerah
“Hmm….bagus juga…kapan nih kita berangkat?” tanya Tama lagi
”Mobilmu kosong mulai kapan? Siapa yang mau nyetir?” interupsi Setyo
”Sore ini udah kosong. Nyetir? Rangga aja gimana?” jawab Tama
”Okeh!” Rangga menyahut
”Bawa anak-anak cewek ga nih?” tanyaku penuh harap
Semuanya hanya memandangku dengan menyunggingkan senyum mesum. Aku sudah tahu jawaban mereka.
Maka esok paginya kami dengan pasangan masing-masing kumpul dirumah Tama. Seakan-akan surga mengijinkan, orang tua Tama pergi keluar kota bersama teman-teman kantor mereka, jadi tidak akan ada yang menanyai kami kenapa membawa cewek-cewek.
Aku dengan Ira, Rangga dengan Angel, Setyo dengan Dian, dan Tama dengan Luna.
Sayangnya mobil penuh, sehingga Ade dan Feby memutuskan untuk tidak ikut.
”Heh! Katanya bawa cewek sendiri. Kok malah ngajak Ira sih?” semprot Rangga ketika aku dan Ira datang.
”Hayoo…kalian jadian kapan hah?” goda Setyo sambil meraih tangan Dian
Aku dan Ira hanya tersenyum. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
”Uuuuff….panas ya? Ohya, anak cewek yang lain pada dimana?” tanya Ira sambil mengibaskan tangan karena kepanasan
”Noh di dalem…lagi pada ngadem” sahut Tama tanpa memalingkan wajah. Ia sibuk mengecek mesin mobil bersama Rangga
”Aku ganti baju dulu yah Rif? Panas nih…” tanya Ira kepadaku. Aku hanya mengangguk.
Ira mengambil tas yang ada di motorku kemudian berlari kecil masuk ke rumah Tama.
Tak lama kemudian terdengar anak-anak cewek pada cekikikan. Tak tau apa yang mereka bicarakan.
Beberapa lama kemudian…
”Oii…mobil dah siap nih...girls, ayo berangkat!” Rangga berteriak dengan semangat.
”Tam, aku titip motor ya? Kumasukin garasi ya?” seruku kepada Tama diiringi anggukan kepalanya.
Setelah aku keluar garasi, kulihat semua anak-anak sudah naik mobil semua kecuali Ira. Dia berdiri di depan pintu, menungguku. Rupanya dia telah mengganti pakaian, sekarang dia mengenakan kaos santai dan … … what the hell?! Dia memakai rok mini!
Uuh…adikku menggeliat dari tidurnya merasa terganggu dengan pemandangan dihadapanku. Begitu aku berjalan disebelahnya, Ira menggamit lenganku. Dadanya yang kenyal bersentuhan dengan lengan kananku. Adikku sudah setengah sadar…
”Hoi! Cepetan!!” Setyo berseru tidak sabar
Aku dan Ira pun naik ke mobil. Kami duduk dengan pasangan masing-masing.
Angel duduk disebelah Rangga yang sedang mengemudi, Tama dan Luna duduk dibelakang bersama Setyo dan Dian. Sementara mereka membiarkanku berdua dengan Ira di kursi tengah. Mobilpun melaju dengan mulus.
Tama dan Setyo sibuk dengan cewek mereka masing-masing. Rangga menyetir sambil bercakap-cakap dengan Angel. Aku yang duduk disebelah kiri Ira, memilih membaringkan kepalaku di pahanya yang putih mulus.
”Hei…” aku memanggil Ira.
Dia menoleh kearahku. Kutatap matanya yang teduh dan akupun tersenyum. Ira membalas senyumanku, kemudian ia mengelus pipiku. Aaah…aku sangat bahagia. Sejenak, kata-kata gombal yang dilontarkan Tama kepada Luna, suara khas kuli pelabuhan Setyo, dan obrolan tak jelas Rangga dengan Angel mendadak hilang.
Kesunyian ini bertahan hingga Setyo berteriak menawarkan makanan ringan kepada kami. Aku dan Ira sama sama menggeleng.
Aku kembali tiduran dengan menghadap ke arah Ira. Kuberanikan diri mengangkat rok mininya sedikit, mencoba mengintip kedalam roknya.
”Sssstt!!” Ira menghardik dengan risih sambil menyingkirkan tanganku.
Aku tersenyum salah tingkah. Namun Ira juga tersenyum melihat tingkahku.
Sepertinya adikku benar-benar mengamuk, menggedor-gedor hingga celana jeans yang kukenakan menonjol. Sesak sekali. Spontan aku menekuk lutut dengan cepat. Ira yang kaget menoleh, dan ketika melihat tonjolan di celanaku, senyumnya menjadi canggung.
Tiba-tiba….
”Aaaahh….ssshhh…..aaaahhh….” ada suara desahan dari belakang
Otomatis aku melonjak terduduk, aku dan Ira sama-sama menoleh kebelakang.
Kami berdua terhenyak, pemandangan yang kami lihat benar-benar tak dapat dipercaya.
Dian sedang dipangku oleh Setyo, sementara tangan Setyo masuk kedalam kaosnya dan meremas-remas payudaranya.
Tama sedang sibuk menciumi leher Luna, diiringi desahan-desahan dari kedua pasangan.
Aku dan Ira kembali menoleh kedepan dengan melotot, tak percaya apa yang baru saja kami lihat. Kutatap Ira, dibibirku tersungging senyum nakal. Ia mengerti maksudku.
Segera saja kuangkat kedua kakinya, kemudian aku melepas celana dalamnya. Kali ini Ira tidak melawan. Dengan gerakan tiba-tiba, kusapukan lidahku di vaginanya, kujilat dan kuhisap klitorisnya. Tubuhnya menegang.
”Aaaaahhnnn…..nggghh…..aaaaahhh….aaaasssshhh…..uuu hh..” desah Ira dengan penuh kenikmatan. Tangan kanannya menjambak rambutku sementara tangan kirinya terkulai lemas di leherku. Matanya terpejam, menandakan dia menikmati kehangatan lidahku yang keluar masuk lubang vaginanya.
Tiba-tiba suasana menjadi sunyi. Tama dan Setyo menghentikan aktivitasnya, Luna dan Dian berhenti mendesah dan memperhatikan Ira dengan rasa ingin tahu. Sepertinya mereka penasaran karena suara desahan Ira yang jelas-jelas penuh dengan kenikmatan.
Ira tersadar, kemudian dia sadar bahwa Tama, Setyo, Luna dan Dian memandangnya dengan ekspresi heran. Wajahnya langsung memerah karena malu, dia menunduk, mengambil celana dalamnya yang jatuh kemudian langsung mendorong kepalaku dan menutupi roknya dengan kedua tangan.
Mulai saat itu, semua anak diam tak bersuara sampai tujuan kecuali Angel dan Rangga yang sibuk ngobrol, sepertinya mereka tidak tahu apa yang terjadi. Aku hanya diam saja.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sore harinya…
”Oooi…tendanya udah berdiri nih…! Itu barang-barang ditaruh dimobil aja! Biar gak bikin sesak!” teriak Setyo yang sedang membereskan peralatan tenda.
”Disini juga udah siap. Ntar yang cewek pada tidur disini yaa!” aku juga berteriak, tenda untuk anak-anak cewek sudah berdiri.
Setelah semua persiapan selesai, kami menunggu Rangga dan Tama yang sedang mencari kayu bakar.
”Mana sih mereka? Gelap…nakutin disini” kata Angel takut-takut
”Iyaa…dingin juga…disini kan daerah pegunungan” sambung Luna
”Kamu takut nggak?” tanya Setyo kepada Dian yang duduk disampingnya.
Pacarnya itu menggeleng sambil tersenyum manja, kemudian Setyo memeluknya. Mesra sekali. Luna dan Angel duduk di sisi yang berseberangan sementara Setyo dan Dian di sisi kanan kami.
”Kamu?” tanyaku kepada Ira.
”Nggak dong…hehehe” Ira terkekeh menanggapi pertanyaanku.
”Uuuhh…kalian si enak…ada cowoknya masing-masing…” cibir Angel
Kami semua tertawa
Suasanan kembali sunyi. Tiba-tiba…
SREK! SREK! SREEKK!!
Ada suara seperti sesuatu yang diseret…
”Whoaaaaaa!!!” teriak Rangga sambil memeluk Angel dari belakang
”Aaaaaaaaaaaaa!!!” Angel menjerit sekeras-kerasnya.
Aku dan Ira spontan menutup telinga dengan tangan dan kami berdua nyengir melihat Rangga mengerjai pacarnya. Setyo tampak tidak peduli, sementara Luna sudah lari memeluk Dian.
“Hhehehehe….kaget nggak?” tanya Rangga kepada Angel
”Kamu jahat…” Angel menangis sesenggukan
Rangga jadi merasa bersalah.
”Eh…maaf…aku cuma pengen ngerjain kamu…” ucap Rangga
”Aku takut banget tau nggak…” isak Angel seraya memeluk Rangga
”Iya deh…nggak lagi lagi…” jawab Rangga
”Janji yaa?” Angel tersenyum. Kemudian mereka berdua berciuman.
Aku nyengir, Ira menutup mulutnya dengan tangan, Setyo menggeleng-gelengkan kepala, sementara Tama, Luna dan Dian melongo.
”Aaah…jangan cipokan mulu! Mana kayu bakarnya sinih! Dingin gila!” kataku sambil berdiri
Rangga masih berciuman dengan Angel dan menjawab pertanyaanku dengan menunjuk setumpukan kayu dengan tidak peduli.
Aku dan Setyo menyalakan api, sementara para cewek menyiapkan makan malam.
Tak lama kemudian api unggun sudah menyala. Kami makan, bercanda dan tertawa bersama. Aku tersadar.
”Yo, garam yang dibungkus plastik biru tadi mana?” aku bertanya kepada Setyo
”Itu di mobil. Mau buat apa?” ia balik bertanya
”Belom naburin garem di sekitar tenda…” jawabku
”Nih kuncinya. Ambil sana!” kata Rangga sambil melempar kunci mobil kepadaku.
“Nggih tuan…keparat…” aku bersungut-sungut
Semuanya tertawa melihatku.
Aku berjalan menjauhi api unggun. Mobil Tama memang tidak diparkir terlalu jauh, tetapi terhalang tenda sehingga tidak terlihat dari sekitar api unggun. Udara disini luar biasa dingin. Sebentar saja tanganku sudah menjadi sangat dingin. Kurapatkan jaketku.
Ketika sampai di mobil, kubuka pintu tengah dan mencari-cari diantara tumpukan tas. Kutemukan plastik berisi garam itu, kemudian kututup pintu mobil, tetapi tidak kukunci.
Setelah selesai menaburkan garam, aku kembali ke api unggun.
”Lho Ira dimana?” tanyaku kaget ketika tidak menemukan Ira
”Tadi ke mobil. Nyusul kamu” jawab Angel
Aku cepat-cepat lari ke mobil. Benar saja, kulihat Ira sedang sibuk mengacak-acak tas mencari sesuatu. Hanya setengah badannya yang masuk ke mobil, dia menungging, memperlihatkan kakinya yang mulus dan pantatnya yang hanya dibalut rok mini. Adikku spontan mengamuk.
”Nyari apa Ra?” tanyaku mendekat
”Ce..celana..pan…panjang…” dia menoleh kearahku, menggigil kedinginan
Aku merasa iba…kulepaskan jaketku dan kupakaikan kepadanya. Aku kaget ketika melepas jaketku, ternyata udara disini memang SANGAT dingin. Aku heran, bagaimana Ira bisa bertahan di suhu sedingin ini dengan hanya mengenakan rok mini.
”Ka…kamu nggak di…dingin?” dia menatapku
”Nggak apa-apa…hahaha” kubalas tatapannya. Dia tersenyum…kemudian Ira kembali mencari-cari diantara tumpukan tas.
Aku jongkok dibelakangnya, mengagumi paha dan kakinya yang indah. Aku juga menggigil. Kuintip roknya, tiba-tiba terlintas ide nakal di benakku.
”Eh, Ra, ambilin tu botol air mineral dong” pintaku
”Haus ya?” ia menoleh sambil mengulurkan sebotol air mineral
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Ketika Ira kembali sibuk mencari, kubelai kakinya yang indah…wah mulus sekali. Kugeser salah satu kakinya sehingga dia agak mengangkang. Ira tidak peduli, mungkin karena sudah sangat kedinginan. Kuperosotkan celana dalamnya sebatas lutut. Dia menjadi terburu-buru mencari celana panjangnya, sepertinya dia ingin segera menemukan celana panjangnya dan menghentikanku melakukan semua ini. Tapi Dewi Fortuna berpihak padaku.
Kubuka botol air mineral, dan ternyata airnya menjadi dingin, sesuai dugaanku. Aku tersenyum.
”Dingin yah? Menurutmu gimana?” tanyaku membuka percakapan
”Iya, dingin banget…gak ngira bakal sedingin ini” jawabnya
Kuminum air mineral itu tetapi tidak langsung kutelan. Seluruh mulutku menjadi dingin.
Setelah agak lama, baru kutelan airnya.
”Eh? Gimana?” tanyaku lagi
”Dingin Ariiff…” jawabnya singkat
”Apa?” tanyaku pura-pura bego. Sebelum Ira sempat menjawab, dengan gerakan secepat kilat, kujilat vaginanya
”Dingiiiinn!!” jeritnya ketika ia merasakan lidahku menjelajahi daerah privatnya
Mmm…wangi tubuhnya semakin menggairahkanku. Dengan gencar kulanjutkan menjilat, menghisap, menggigit.
”Aaaahh….nggak…jangan Rif….nggak mau….aaahhh….ntar…nggghhh…adaahh…yang liat….aaaahh…” ujarnya dengan terengah-engah, tetapi dia tidak mencoba menghentikanku.
Setelah beberapa menit, aku kembali bertanya disela-sela seranganku
”Sekarang gimana?”
”Anget….aaahhnnn….enak Rif….aaaww…mmmhh…anget…terusss…aaahh” sepertinya Ira sudah terangsang berat.
Ketika sudah hampir mencapai klimaksnya, ia mengencangkan pegangannya ke jok mobil. Kulihat hal itu, maka segera saja kusudahi permainanku.
”Loh? Kenapa berhenti?” tanya Ira dengan wajah kecewa
”Ah…kamu mulu yang dapet…aku nggak. Nggak asik ah!” cibirku
”Iya deh iya ntar gantian…ayo lah lanjut…aku dah hampir sampe nih” dia memohon
”Janji loh yaa?” tanyaku sambil tersenyum
Aku pun melanjutkan permainan. Setelah beberapa menit yang penuh desahan, akhirnya Ira hampir mencapai klimaksnya.
”Iyaaa…teruuusssss…..bentar lagii…aaahh…aahhh….” jeritnya penuh harapan
Beberapa detik kemudian tubuhnya mengejang. Dia berteriak penuh kenikmatan.
Lalu dia berbaring di jok mobil dengan tersengal-sengal.
”Udah? Udah puas? Enak?” tanyaku
”Iyaa….aku lemes banget nih…kakiku ga bisa buat berdiri…” jawabnya
”Sekarang gantian yaa?” aku nyengir sambil membuka resleting
Kutarik pinggulnya lalu kujejalkan penisku dengan paksa.
”Aaaahh…ntar dulu Rif! Aku masih lemes…” pintanya dengan wajah memelas
Aku tidak peduli dengan kata-katanya, tetap kujejalkan dengan paksa. Adikku masuk separuh. Uuuh…rasanya sempit sekali.
”Aaaghh! Sakit Rif! Sakiit! Pelan-pelan dong!” ia menjerit kesakitan
“Mau sampe kapan?” protesku dengan kesal
”Iyaa….tapi pelan-pelan dong sayang…” suaranya melembut dan ia tersenyum
DEG!!
Wajahnya benar-benar….uuhh…intinya aku speechless. Bagai tersihir, aku mematuhinya dan memperlambat penetrasiku dengan stabil.
Bleesss…seluruh adikku masuk. Wah..rasanya enak sekali…luar biasa…lembut dan hangat. Vaginanya meremas-remas adikku dengan irama yang teratur.
“Nah…gitu dong…gini kan enak…” ucapnya sambil menahan desahan
”Iyaa…enak…punya kamu emang paling top deh!” ujarku sambil terus memompa
”Hah? Kamu udah pernah nyobain punya cewek lain?” tanyanya dengan suara kaget
”Enggak…adikku cuma buat kamu kok…ga cuma adikku, hatiku juga cuma punya kamu” jawabku sambil tersenyum
Kulihat Ira tersipu dan wajahnya memerah. Pelan-pelan ia menggerakan pinggulnya. Dia yang selama ini pasif menerima ‘adik’ku kini mulai memberikan respon.
”Eeeh..eeh…kamu kok gerak-gerak si? Horny yaa? Hayoo…ahahahha” kataku dengan tertawa
”Aaaahh….aahh…aahh…hehehe…mulutmu itu loh…mmmhh….” jawabnya tak jelas
”Ga usah malu-malu Ra, bilang aja…uuuhh…”
Beberapa menit kemudian…
”Aaahh…aaahhh…aku…mau keluaarr….mmmhh…” racaunya
”Keluarin aja. Kayak nggak biasanya. Hehehe” aku geli mendengar laporannya
”Aku kan…uuuhh….ijin dulu….aaawwwhh….sebentar lagi…aaahh…..” Ira tersenyum menahan desahan
Tubuhnya kembali mengejang. Dia orgasme untuk yang kedua kalinya.
”Ooohh yeaaah…..aaaahh…enaaakk….uuh…lega banget Rif” desahnya
”Yaa nduluin…tuh kan…aku padahal juga sebentar lagi niih…” ucapku
”Keluarin aja Rif…tapi jangan didalem kaya waktu itu yaa…aku takut hamil”
”Beres!” potongku
Aku terus saja melanjutkan aktivitasku. Rasanya tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Setelah beberapa lama, rasanya ada sesuatu yang menggelitik. Aku tahu kalau aku sudah mencapai batasnya. Kulihat Ira tergeletak tak berdaya, matanya terpejam dan ia mendesah pelan menikmati setiap gesekan pada vaginanya.
”Aku mau keluar Ra…kamu balik badan dong!” pintaku
Dengan cepat dia mematuhi perintahku. Kulepaskan adikku dan aku masuk kedalam mobil. Kucari posisi yang enak dan kudekatkan adikku ke mulutnya.
”Buka mulutmu dong…” aku menahan sensasi yang akan segera meledak.
Adikku berdenyut-denyut tidak karuan.
Ira membuka mulutnya lalu kumasukkan adikku kedalam mulutnya sambil kutahan kepalanya agar tidak melepaskan adikku. Dia memaju mundurkan kepalanya. Rasanya hangat di tengah-tengah pegunungan yang sangat dingin ini.
Ira yang polos tidak tahu apa-apa ketika tiba-tiba spermaku menyembur di dalam mulutnya.
”Mmmmmph?! Mmmmf!!” matanya terbelalak karena kaget, tangannya berusaha menyingkirkan kedua tanganku.
Ia segera melepaskan adikku dan menutup mulutnya dengan tangan, dia ingin muntah.
”Aaaahh….legaa…eeh jangan dibuang dong!” ucapku ketika Ira akan memuntahkan spermaku.
Dengan susah payah kulihat ia berusaha menelannya. Setelah itu dia buru-buru menyambar botol air mineral dan segera meminumnya. Aku merasa kasihan melihatnya, tetapi ada perasaan puas ketika melihat spermaku mengalir pelan dari sudut bibirnya.
Kuambil selembar tissue dan mengelapnya.
”Hehehehe…gimana rasanya? Itu yang namanya sperma.” Kataku
”Iih! Rasanya bikin mau muntah…kental gimana gitu…inget aja aku enek lagi” jawabnya sambil memegangi perut
”Ah ntar juga terbiasa” ucapku santai
”Gak! Aku ga mau kalo disuruh kayak tadi lagi” jawabnya
”Hehehe…iyaa…iyaa…”
Kulingkarkan lenganku di perutnya yang langsing, kusibak rambutnya dan kucium lehernya sebagai tanda terima kasih.
”Uuuuhhh…..jangan bikin aku nafsu lagi…aahhh” desahnya sambil mendorong kepalaku menjauh. Ira tertawa kecil.
Setelah berberes-beres dan menemukan celana panjang Ira, kami pun kembali ke arah api unggun. Kulihat semua teman-temanku sudah terkapar di sekeliling api unggun. Mereka tidur nyenyak sekali, sepertinya mereka kelelahan menunggu kami dan jatuh tertidur. Ternyata aku dan Ira sudah bermain cukup lama. Karena suhu yang sangat dingin, aku tidak tega membangunkan mereka. Maka kuganjal sekitar api unggun dengan batu, supaya baranya tidak berserakan atau membakar sesuatu, lalu kulemparkan kayu bakar agar apinya menjadi besar dan lebih menghangatkan teman-temanku.
”Hoooaaam….udah yuk tidur…ngantuk neh!”, kataku sambil menguap
”Iya…aku juga…”, Ira mengambil tempat diantara Angel dan Dian dan bersiap untuk tidur
”Ayo!” ,aku menarik tangannya
”Eh?” Ira tampak bingung
Aku menariknya masuk ke tenda yang semula untuk tidur dan membuka sebuah kasur lipat. Sayangnya, jaket saja terasa kurang ampuh menahan hawa dingin disini.
”Naaah…kamu tidur disini yaa” kataku sambil merapikan kasur lipat yang akan digunakan Ira
”Loh? Kan cuma satu…kamu gimana?”
”Udaah…aku bisa tidur dimana aja…hehehe”
Ira menurut. Segera setelah dia berbaring, aku duduk disebelahnya.
Ia tidur menghadap ke arahku. Kubelai rambutnya yang lembut. Ira tersenyum dengan mata terpejam, ia meletakkan tangan kananku dipipinya. Sejenak kemudian ia tertidur pulas, dapat kulihat dari nafasnya yang dalam dan teratur. Kugenggam tangannya, dingin.
”Waduh…bisa sakit nih kalo kaya gini...kamu pasti capek ya Ra? Istirahat yaa biar nggak sakit...” aku tersenyum menatap bidadari dihadapanku ini.
Kuambil jaket tebalku yang satunya didalam tasku yang kebetulan water-proof (jaket yang sama dengan yang waktu di mall), jadi hangat dalam situasi seperti ini. Kujadikan selimut untuk menutupi tubuhnya hingga sebatas leher.
Melihatnya sudah tertidur nyenyak, aku keluar dari tenda. Hawa dingin serasa menusuk tulang, tapi untunglah aku tipe orang yang tahan dingin.
Aku mengambil tempat yang agak jauh dari api unggun, kemudian membentangkan tikar kecil. Kukeluarkan dan kupasang headset-ku. Setelah musik mengalun memenuhi telingaku, aku berbaring menatap langit yang ditaburi jutaan bintang. Kutarik nafas dalam-dalam, udara dingin dan sejuk memenuhi rongga paru-paruku. Aku tersenyum, merasa puas dengan keadaanku sekarang.
Camping itu terjadi sekitar 1 minggu yang lalu dan kini liburan telah usai…
Kegiatan KBM kembali dimulai, namun belum efektif. Maka kami semua sering pulang lebih awal.
Aku dan Ira jadian beberapa hari setelah pulang dari camping. Dan tepat hari ini, Ira berulang tahun yang ke-18. Ia setahun lebih tua dariku, tapi itu tak menjadi masalah buat kami.
Kotaku sedang dilanda hujan yang sangat lebat, disertai angin kencang.
Padahal aku sudah bersusah payah menabung selama beberapa minggu untuk membelikan kado buat Ira, juga sudah kusiapkan bunga mawar untuknya.
”Sialan!” umpatku di parkiran motor sekolah
”Kenapa?” tanya Rangga
”Ujan…aku mau kerumahnya Ira malah ujan gini! Damn!”
”Loh? Ngapain kamu kerumahnya? Ini belom juga malem minggu…”
”Dia hari ini ulang tahun …”
“Oohh…” jawabnya singkat
Aku benar-benar tidak sabar menunggu hujan untuk mereda. Segera saja kuambil kunci motor dari dalam saku celana OSIS ku dan aku berlari menembus hujan deras ke arah motorku yang memang kebetulan diparkir di tempat yang tidak memiliki kanopi diiringi tatapan mata teman-teman seangkatan dan adik kelas. Mungkin mereka pikir aku sudah gila, nekat pulang dalam cuaca seperti ini. Tapi aku tidak peduli.
Kunyalakan mesin motorku, untungnya motorku seperti mengerti keadaan, hanya dengan sekali memencet tombol starter, motorku langsung meraung gembira. Aku memacu motorku keluar areal parkir, kemudian kutancap gas menuju rumah. Beberapa kali aku hampir kehilangan nyawa ditengah cuaca seperti itu.
Akhirnya aku sampai dirumah dalam keadaan basah kuyup. Kuparkir motorku di halaman dan aku langsung menghambur kedalam rumah. Papa dan Mama ku hanya geleng-geleng kepala.
“Ckckck! Lho kok hujan-hujanan?” tanya Ibuku
“Laaah…nggak keburu Ma. Mau nunggu sampe ujan reda kelamaan!” jawabku setengah berteriak karena bersaing dengan suara hujan
“Kok buru-buru?”
“Iyaa…Ira ulang tahun Ma. Aku mau kerumahnya.” jawabku sambil berganti pakaian.
“Jangan ngawur kamu. Kalau cuacanya seperti ini, Papa nggak kasih izin!” kata Ayahku tegas
Aku tidak peduli. Kujejalkan boneka panda dan sebuket bunga mawar kedalam ranselku.
Mungkin melihat niatku, Ayah agak melunak, tidak seperti biasanya.
“Jangan ngebut-ngebut, jalanan licin. Ira juga pasti ngerti kok” kata Ayah
Aku hanya tersenyum. Aku setengah berlari kearah motorku. Sebelum kunyalakan mesin, aku meraih handphone-ku dan mengirim SMS untuk Ira untuk memastikan apakah ia ada dirumah atau tidak.
‘Syng, kmu drmh g?’
Beberapa detik kemudian ada SMS balasan masuk.
‘Iy. Knp? Ujannya gde banget y?’
Tak kubalas SMS nya karena aku langsung menaiki motorku dan menerobos hujan.
Angin sangat kencang, sempat kulihat beberapa pohon besar tumbang. Aku jadi merasa ngeri. Namun, aku tidak bisa mundur, maka kupacu motorku secepat yang aku bisa.
Dasar sial, aku lupa memakai jas hujan. Maka ketika aku sampai di rumah Ira, aku dalam keadaan basah kuyup (lagi). Begitu aku menurunkan standard motor, kulihat ada seseorang memakai payung dari dalam rumah menghampiriku. Setelah kuperhatikan, ternyata Ira menjemputku dan membukakan gerbang.
“Kok kamu bisa keluar pas aku sampe sih?” aku bertanya kebingungan
”Hehehe…seorang Arif yang nggak mbales SMS seorang Ira pasti kalo nggak lagi sibuk, ya lagi nyetir motor. Aku cuma nebak aja kamu kesini, jadi aku duduk di ruang tamu sambil ngeliatin gerbang. Hehehe” Ira terkekeh bangga
”Haaah???” aku hanya mampu melongo mengagumi kemampuan analisisnya.
“Ayo masuk!” Ira menarik aku kebawah naungan payung yang dipakainya
”Eeehh, sebentar!”
Mungkin karena sudah terlalu bersemangat, aku segera membuka ransel dan mengeluarkan bunga mawar putih yang terbungkus rapi.
“Ini…buat kamu-“
Kata-kataku terpotong ketika sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi sehingga genangan air bercampur lumpur terciprat kearahku. Posisiku sedang membelakangi jalan raya, sehingga punggungku dan sebagian bunga mawar untuk Ira menjadi penuh lumpur, tapi untung Ira tidak terkena cipratan karena terhalangi tubuhku.
Spontan aku berbalik dan berteriak
“WOI! BANGSAT YAA!!! KEPARAT!!!”
Aku begitu emosi. Aku berteriak sangat keras hingga orang-orang disekitarku menoleh dan memperhatikanku. Namun pengendara motor tadi telah hilang dari pandangan. Lalu aku merasakan sesuatu yang hangat menempel di bibirku, aku menoleh. Ternyata Ira tengah menempelkan jari telunjuknya dibibirku.
“Sssssttt. Nggak boleh ngomong kayak gitu.” ujarnya sambil tersenyum
Ia meraih daguku kemudian mencium bibirku didepan banyak orang. Aku sangat kaget.
“Hei Ra! Kamu ngapain?!” tanyaku setengah berbisik
“Hehehe…udah yuk, ayo masuk!” ia tersenyum lalu menggandeng tanganku.
Bunga mawar itu kubuang ke tong sampah tanpa sepengetahuannya, dan kami berdua pun masuk rumah, disaksikan oleh motorku yang menggigil kedinginan di halaman tempat aku memarkirnya.
Ira mengajakku masuk kamarnya. Sepertinya benar-benar sepi, tidak ada orang lain.
Aku duduk ditepian kasur sambil menyisir rambutku dengan tangan dan menatap sekeliling.
“Aduh. Sampe basah kuyup gitu. Nih handuk!” ujarnya sambil mengulurkan selembar handuk
“He eh. Makasih. Apa nggak ada orang?” tanyaku sambil mengelap rambutku yang basah.
“Nggak. Lagi ditoko, kayaknya ada yang rusak gara-gara ujan.” dibibirnya tersungging senyuman aneh
Ira berjalan kearah lemari, ia membukanya lalu mengambil sepotong kaos yang kelihatannya kebesaran serta sepotong celana ¾.
”Nih bajunya, sori ya kalo ga cocok, punya kakakku tuh” katanya sambil mengulurkan pakaian yang kemudian kuterima.
Aku segera mengaduk-aduk tas ranselku. Boneka panda yang kubeli kukeluarkan dengan hati-hati. Aku tersenyum kemudian mengulurkannya pada Ira
“Happy birthday ya Ira-ku sayaaangg”
“Wah…makasih ya Rif! Kamu baik banget!” Ira menerima boneka itu dengan ceria kemudian langsung mendekapnya. Memang ukuran boneka itu cukup besar.
Aku tersenyum. Tetapi kemudian tanganku bergetar hebat. Aku baru sadar kalau aku kedinginan, maka aku segera mengganti bajuku yang basah dengan kaos yang diberikan Ira. Namun tetap saja aku kedinginan.
“D-d-d-ingin b-b-banget yaa…b-b-baru s-s-sadar…!” ujarku sambil menggigil
“Oh iya…aku matiin AC nya yaa?”
“Ng…nggak u-u-usah….”
“Lho?”
“Sini d-dong…” aku menepuk pahaku, menyuruhnya untuk duduk
Ira berjalan mendekat dan kemudian duduk dipangkuanku.
Aku memeluknya, rasanya hangat dan nyaman. Tanpa sengaja, tanganku menyenggol bagian bawah buah dadanya. Spontan kutarik kembali tanganku. Ira menoleh kearahku dan menatapku, lama sekali. Aku tertegun.
Tiba-tiba saja dia mengecup bibirku. Tanganku diraihnya.
“Masih dingin?”
“M-m-masih…”
Ira memegang kedua pergelangan tanganku kemudian menuntun tanganku masuk kebalik kaos ketatnya yang berwarna pink. Ternyata dia tidak memakai bra, aku cukup kaget.
“Uh…tanganmu dingin banget Rif…” ucapnya pelan ketika telapak tanganku menyentuh perutnya yang langsing.
Dengan cepat dia meletakkan kedua tanganku di dadanya. Kedua telapak tanganku penuh oleh payudaranya yang kenyal dan hangat yang kemudian kuremas-remas, aku berusaha mencari kehangatan dari gesekan telapak tanganku.
“Aaawwhh…hhhh…hhhh…” Ira memejamkan kedua matanya
“Oooohh…enak…” entah kenapa aku jadi ikut-ikutan mendesah
“Aww!! Dingin!” ia menjerit kecil ketika jariku memilin-milin kedua putingnya
Memang Ira adalah cewek yang sangat mudah terangsang.
Kubalikkan tubuhnya, sekarang ia duduk dipangkuanku dan kami berhadap-hadapan. Kuangkat kaos pinknya dan kulepaskan. Kini ia telanjang didepanku. Nafasnya memburu.
“Ji..jilatin Riff…isep…hhh…hhh…” desahnya sambil mendekatkan payudaranya ke mulutku
Aku heran, kenapa buah dadanya itu masih kencang berisi, bukannya longgar dan turun seperti kebanyakan cewek yang payudaranya sudah pernah diremas-remas.
Tapi satu hal yang kutahu, itu membuatku benar-benar bernafsu. Tanpa pikir panjang, kujilat dan kukulum putingnya yang kanan, sementara yang kiri kuremas-remas dengan lembut.
“Oooohhh….hhhhh…aaaahhh…aaahh…uuhh…” desahnya liar
“Enak ga? ” tanyaku sambil terus menjilat
Matanya terpejam, kepalanya mendongak keatas dan ia hanya mengangguk.
Oh, suatu pemandangan yang benar-benar membuat ‘adik’ ku marathon naik-turun.
Pelan-pelan kulepaskan celana ¾ ku beserta celana dalamku. Kini, tanpa ia sadari, penisku sudah berdiri tegak dihadapan vaginanya.
Ira yang masih kukerjai mendesah dengan hebat, melenguh dan nafasnya tersengal-sengal. Tanganku turun dan melepas hotpants yang dikenakanya, kemudian celana dalamnya yang juga berwarna pink. Kini ia telanjang bulat dipangkuanku.
Kutempelkan kepala ‘adik’ ku ke bibir vaginanya dan kugesek-gesekkan. Ira hanya diam menikmati sambil menggigit bibir bawahnya, ia mengira aku menggunakan tangan dan tidak sadar bahwa yang kugesek-gesekkan adalah ‘adik’ ku.
Lalu dengan satu hentakan yang kuat, kubenamkan ‘adik’ ku dalam-dalam ke vaginanya.
Ira terbelalak kaget, tidak menyangka akan serangan tiba-tiba ini.
”Aaaaarrrgghhhh!! P-pelan-pelan Rif…sakit…” jeritnya
”Ups…sori…udah kebakar nafsu nih… ”
aku nyengir, namun aku merasa bersalah
Kurubah posisi sedemikian rupa sehingga Ira berada dibawahku.
Aku memperlambat genjotanku, kumasukkan ‘adik’ ku dalam-dalam dengan pelan namun penuh tenaga, dan menariknya keluar agak cepat.
”Naah…gitu…aaaaahhhnn….aaahhh….mmmhhh…..uaaaa ahh…” erangnya ketika penisku masuk dengan perlahan kedalam vaginanya.
Nafsu benar-benar sudah terbakar, aku semakin menggila karena mendengar suaranya yang kelelahan sekaligus penuh kenikmatan itu. Kupompa vaginanya dengan ganas. Beberapa menit yang panas berlalu...
”Aaah!! Aaah!! Aaaahh!!!” Ira mengerang, matanya mengrenyit dan tangannya menggapai-gapai
“Uuuuh…hhh..hhh…Ra, aku sayang sama kamu Ra…hhh…hhh..”
”Aku…aaggghh….juga…aaaahh…aaaah…sshhh….sayang — ukh!!!“ kata-katanya terpotong ketika tubuhnya mengejang, tangannya mencengkeram sprei kasur dengan kuat. Sedetik kemudian ia terkulai lemas.
“Udah keluar?”
Ira tergeletak di kasur tak berdaya, matanya terpejam, dan ia hanya mengangguk menjawab pertanyaanku. Ia hanya diam saja dan membiarkan aku terus menggenjot vaginanya, sepertinya ia sudah benar-benar kelelahan, nafasnya pendek-pendek dan berat.
Melihat hal ini, kupanggil mundur ‘adik’ ku dan menyudahi permainan. Ketika Ira menyadarinya, ia menatapku dengan penuh tanda tanya.
”Kenapa berhenti Rif? Kenapa kamu nggak keluarin kayak biasanya? Apa aku nggak sanggup muasin kamu?” suaranya bergetar
”Bukan, sayang. Ini kan ulang tahunmu, jadi aku spesial muasin kamu doang” jawabku sambil tersenyum
Awalnya Ira menatapku tidak percaya, namun lama kelamaan tersungging sebuah senyum di bibirnya.
”Makasih banget ya Rif”
”Iya…apa sih yang nggak buat kamu?” aku meraih pinggangnya dan kukecup lembut bibirnya.
Mulutku bisa berkata demikan, dan hatiku juga tidak menyimpang, tetapi ‘adik’ ku protes besar-besaran karena nafsuku tidak terpenuhi. Kucoba abaikan nafsuku.
“Aku sayang banget sama kamu” ia menyandarkan kepalanya di dadaku
”Aku juga sayang banget sama kamu” kubelai rambutnya dan kupeluk sepenuh hati, rasanya benar-benar hangat. Aku bahagia.
Setelah selesai bermain, aku pun mengenakan kembali pakaianku yang rupanya sudah lumayan kering dan keluar diantar oleh Ira, tepat ketika keluarganya pulang. Ketika ditanya apakah aku sudah lama datang, kami berdua kompak menjawab bahwa aku datang barusan dan hanya menyerahkan kado lalu pulang. Untuk menghindari kecurigaan tentunya.
Sudah sebulan berlalu…
Entah apa sebabnya, hubunganku dengan Ira menjadi renggang. Ia berkata bahwa ia ingin fokus kepada try out yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Aku bisa mengerti, itulah sebabnya kami SMS an hanya sedikit dan tidak pernah hang-out berdua, namun yang tak kumengerti adalah Ira tetap saja dingin dan pendek dalam membalas SMS ku dan tidak pernah mengangkat telpon dariku walaupun try out itu telah selesai seminggu yang lalu. Aku mencoba bersabar.
Beberpa desas-desus bahwa Ira terlihat berjalan-jalan di toko bersama seorang cowok beberapa kali sampai ke telingaku. Namun hal ini tak kuceritakan pada siapapun, dan kuanggap sebagai gossip semata, walaupun hatiku gundah.
Aku mencoba menjalani kehidupanku seperti biasa, tertawa di hadapan sahabat-sahabatku walaupun hatiku tidak tenang. Aku takut terjadi sesuatu pada Ira.
Suatu hari,
“Eh, malem minggu nih! Ntar nonton film yok di bioskop?” ajak Rangga
“Film apaan? Bokep? Hahahahaha…” tanyaku
”Lah Arif, bokep doang pikirannya!” cetus Tama
”Kowe kuwi rai bokep!” Rangga menyerang Tama dengan logat Jawa yang sangat kental
“Bhahahahaha…!! Goblok yah Ngga!” aku tertawa sampai sakit perut
”Bangkai! Btw, ngajak anak-anak cewek?” tanya Tama
”Iya…iya…ayo! Kita nonton film horror gitu, biar romantis…hahaha” Rangga menyahut
”Ntar kalo ada adegan hantunya, cewek-cewek pasti takut kan…terusss…eaaaa!!” celetuk Tama dengan muka mupeng
”Hahahaha…porno lah!”
”Loh, mau gimana lagi coba? Hahahaha….eh, Riff, ngajak Ira yah?” kata Tama kepadaku
Sejenak aku ragu untuk menjawab ajakannya.
”Iya deh, coba…tapi nggak janji ya” aku memaksakan senyum
”Ya udah deh, ntar kumpul jam 7 dirumahku ya!” Rangga mengusulkan
”Oke lah…santai men!” jawabku
Pukul 14.00…
Bel pulang berbunyi…anak-anak dikelasku sudah bersiap-siap untuk pulang.
Setelah berdoa dan memberi salam kepada guru, kami berhamburan keluar kelas.
Sambil berjalan keluar kelas aku mengirim SMS kepada Ira ‘Sayang, kmu dh pulang?’, kutunggu 5 menit dan tak ada jawaban.
Aku segera menuju tempat parkir, kunyalakan sepeda motorku dan segera memacunya melewati kerumunan anak-anak kelas lain yang sedang ramai bercakap-cakap, aku menuju kerumah Ira.
Dari kejauhan tampak pagar rumah Ira yang tinggi, sejenak tidak ada yang aneh. Namun ketika aku semakin dekat, aku melihat suatu pemandangan yang menusuk hatiku, seolah-olah jantungku berhenti berdegup.
Kulihat Ira sedang berdiri berhadap-hadapan dengan seorang cowok yang sedang bersandar pada sebuah mobil sedan mewah, kutaksir tingginya hampir sama denganku, ia mengenakan hem berwarna putih dengan celana jeans panjang dan memakai sepatu putih, tampilan khas orang kaya. Sekilas dapat kulihat Ira sedang memegang sebungkus plastik bertuliskan nama sebuah toko roti terkenal di kotaku. Tampaknya mereka berdua sedang asyik bercakap-cakap, Ira terlihat begitu bahagia ketika sedang ngobrol dengan cowok itu.
Emosiku meledak keluar bersama kepedihan-kepedihan yang pernah aku alami dan akan kumuntahkan semua perasaan marahku saat ini juga. Namun akal sehatku masih berjalan, maka kutepikan motorku dan kuparkir di sisi jalan yang sama dengan mereka dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku sudah tidak bisa menunggu lebih lama ketika kulihat cowok itu menggenggam tangan Ira, dan ia hanya tersipu-sipu malu ketika tangannya dipegang seperti itu.
Kulangkahkan kakiku dengan mantap, dengan emosi yang siap tercurah. Ketika jarak antara kami tinggal 3 meter, Ira menyadari kehadiranku dan menoleh kearahku, seketika tersirat ketakutan dan kekagetan dimatanya.
Ira bukanlah cewek tolol, ia tahu kalau aku tidak pernah marah terhadapnya dan selalu sabar, tetapi ia tahu dengan pasti bahwa ketika aku benar-benar marah, aku tidak akan menahan diri lebih lama.
Ira hanya berdiri mematung dan menatap mataku ketika aku berjalan mendekatinya. Dibibirku tersungging senyum sinis yang belum pernah kuperlihatkan kepada siapapun. Ketika melihat senyumanku, tangannya mengepal dan ia menunduk. Si cowok yang sadar kalau ada sesuatu yang salah menoleh kearahku, namun tak berkata apa-apa.
”Oooh…begini ya ceritanya…” ucapku ketika aku sampai dihadapannya
Ira diam saja, ia masih menunduk, namun dapat kulihat jelas, tangannya gemetar.
”Hhahaha…lagi try out ya Ra? Try out sama cowok gitu? Cih…aku nggak nyangka kamu semurah ini…” kutatap Ira dengan pandangan sinis
”B-b-bukan Rif…” ia sedikit mengangkat wajahnya, suaranya bergetar ketakutan
”Bukan apanya? Ternyata kamu gini ya dibelakangku? Mentang-mentang banyak yang naksir kamu, terus kamu seenaknya selingkuh gitu ya? Heh!? GITU YA!!” suaraku meninggi dan kudorong bahunya dengan sangat kasar sehingga ia mundur beberapa langkah, ia mulai menangis.
Melihat hal ini, si cowok tidak tinggal diam
”Woaah…woaahh…tenang bro..tenang…” ujarnya sambil menepuk bahuku
”Don’t…touch…me…” suaraku bergetar karena marah, aku berusaha menahannya.
“Bro, dia kan cewek bro…jangan main kasar gitu dong…” ia tidak menghiraukan kata-kataku dan masih menepuk-nepuk bahuku dengan cukup keras
”I said…DON’T TOUCH ME, GOD DAMN IT!!” aku berteriak sekeras mungkin
Seketika itu juga sebuah pukulan kudaratkan di tulang pipi kanannya. Cowok itu jatuh terjungkal. Ia segera bangkit dan berusaha membalas ketika Ira segera berdiri ditengah kami berdua dan berusaha melerai kami.
Melihat hal ini, si cowok segera berhenti dan kemudian mengelus-elus pipi kanannya yang tadi kupukul.
Ira maju selangkah kearahku,
”Rif, aku mau jelasin semuanya…” air matanya berlinang
“Ooh…cukup…aku udah liat semuanya kok…udah cukup JELAS!” aku tersenyum sinis
“Bukan…ini nggak seperti yang kamu kira…” air matanya mengalir semakin deras
”Oh ya? Banyak temen-temenku yang liat kamu lagi jalan sama anjing ini!” bentakku sambil menunjuk si cowok yang hanya diam saja.
“Itu—“ ia tercekat, tidak mampu melanjutkan kata-katanya.
Si cowok kemudian melingkarkan tangannya pinggang Ira dari belakang dan berusaha menariknya menjauhi aku
”Udah Ra, gembel terminal kayak dia buat apa diurusin?! Udah, kamu sama aku aja, aku toh jauh lebih baik, aku jauh lebih kaya, lebih cakep dan aku lebih segalanya dibanding dia! Aku jauh lebih pantes buat kamu daripada sampah ini!! Apa juga bagusnya cowok cupu kayak dia?” cowok itu mengacungkan jarinya ke arahku.
Aku hanya diam. Kutelan semua hinaannya mentah-mentah. Aku tidak sempat untuk marah karena pikiranku begitu keruh dan hatiku dipenuhi perasaan sedih yang teramat sangat. Aku hanya bisa mengencangkan kepalan tanganku sambil menunduk kebawah, tidak peduli dengan apa yang akan terjadi.
Tetapi sungguh diluar dugaan, bahkan aku pun agak kaget,
Ira berbalik, kemudian…PLAKK!! Sebuah tamparan keras mendarat dipipi cowok itu
”Heh cowok murahan! Jaga mulut kamu ya!! NGGAK USAH SOK!!” suaranya melengking tinggi, Ira menjerit sambil menangis.
Si cowok kelihatan benar-benar marah.
”Dasar pelacur! Kamu harusnya berterimakasih sama aku! Banyak cewek yang ngejar-ngejar aku, aku bisa dapetin setiap cewek yang aku suka, cewek murahan kayak kamu gak ada apa-apanya!” bentaknya kemudian masuk ke mobil dan meluncur dengan cepat meninggalkan kami berdua.
Ira berbalik ke arahku
”R-Rif?” tanyanya sesenggukan
”Hha! Bagus juga aktingmu Ra? Tapi sayang…aku nggak sebodoh itu! ” kataku sambil berbalik untuk pergi
Ia memeluk lengan kiriku
”Rif! Dengerin aku dulu!” pintanya sambil kembali menangis
”Pelacur, lepasin tanganku!” bentakku dengan sangat kasar
”Astaga Rif…kamu tega…kalo kamu ninggalin aku, aku harus gimana? Siapa yang bakal nemenin aku? Siapa yang bakal merhatiin aku?? Cuma kamu Rif, cuma kamu yang aku harapin…” tangisnya semakin keras
Kusentakkan tanganku sekali, dan lenganku langsung lepas dari pelukannya. Kutarik kalung yang pernah ia berikan kepadaku dengan kasar, kucampakkan ke tanah di depan hadapannya.
”Go to hell…” jawabku singkat
Aku segera berbalik kemudian berlari ke arah motorku dan memutar arah. Sempat kulihat di kaca spion, Ira yang berlutut di trotoar, ia menangis sambil menutupi wajahnya dengan tangan.
Hari Sabtu, aku benar-benar tidak konsentrasi…
Puncaknya adalah pada jam pelajaran bahasa Inggris, padahal biasanya aku sangat semangat mengikuti pelajaran ini karena bahasa Inggris adalah salah satu mata pelajaran favoritku.
Aku sedang meletakkan kepalaku dimeja, aku melamun ketika guru bahasa Inggrisku bertanya,
”You over there! What can you learn from this text?” tanya pak Budi
”Me Sir? ” aku balik bertanya sambil mengangkat kepalaku dengan malas
”Yes! You!” katanya sambil mengetuk-ngetukkan jarinya dengan tidak sabar ke meja
”About what sir?” tanyaku bego
”Ckckck….about the benefits of reading newspaper!”
”Umm…I don’t know sir…” jawabku sekenanya
”You must pay attention! Kamu mau nilai kamu hancur?!” bentaknya
Aku benar-benar jenuh. Emosiku seketika meledak.
”WHY SHOULD I CARE?!! Newspaper?! What the hell is that for?!” aku balas membentak
”JAGA MULUT KAMU!!! Kamu, keluar dari kelas ini sekarang!!” pak Budi bangkit dari tempat duduknya dan menggebrak meja. Ia meradang marah.
Padahal di sekolahku, pak Budi terkenal sebagai guru yang TIDAK PERNAH marah, entah kenapa semuanya tiba-tiba menjadi kacau seperti ini.
Aku berjalan kearah pintu dengan gontai, kusapukan pandangan ke seluruh kelas, semuanya menatapku dengan mengrenyitkan dahi, tidak setuju dengan tindakanku yang menentang pak Budi.
Tiba-tiba di pojok kelas, kulihat Ira duduk dengan cowok yang kemarin kupukul. Langkahku terhenti.
”I-ira?” aku tercekat
”TUNGGU APA LAGI?! KELUAR KAMU DARI KELAS!!!” bentakan pak Budi menyadarkanku.
Seketika sosok Ira dan cowok itu menghilang, digantikan oleh Feby dan Ade. Mereka menatapku kebingungan.
Aku berbalik kearah bangku ku dan mengambil tas.
”KELUAAAAAAAAAARRRRRR!!!!!!!” pak Budi benar-benar mengamuk, ia membanting bangku siswa didepannya.
Aku menatapnya tajam dan kulontarkan kalimat yang membuat pak Budi tertegun
”Will you shut up? Oh, for God’s fucking sake!!”
BRUAAAAKK!!! Kubanting pintu kelas dengan kemarahan memuncak.
Akhirnya kuhabiskan jam pelajaranku di kantin sekolah. Ketika jam istirahat, kulihat banyak anak-anak kelas lain mencibir ke arahku. Aku tahu, aku telah membuat suatu kesalahan fatal dan itu menyebar dengan sangat cepat. Tapi aku terlalu banyak pikiran untuk mengurusi hal seperti itu.
Tidak ada teman yang mengajakku berbicara ataupun menyapaku hingga pulang sekolah.
__________________________________________________ ______________________
Aku sampai didepan rumah...dalam keadaan lelah, sedih, bingung, sakit hati.
Kubuka gerbang depan rumah dengan malas. Motor kuparkir seenaknya.
Aku menghela nafas ketika sudah berada di dalam rumah. Pikiranku kacau dan aku segera menuju ke kamar.
Setelah berganti baju, aku tiduran di kasur, mencoba memperbaiki pikiranku yang kusut. Di dalam pikiranku hanya terbayang Ira, perasaan bercampur aduk antara rindu, sedih, sakit, marah.
Kepalaku serasa berputar, berbagai macam suara masuk kedalam telingaku, musik dangdut tetangga sebelah kiri, musik heavy metal tetangga sebelah kanan, bunyi bel pintu rumah, suara TV di ruang keluarga dan banyak suara lain bercampur menjadi satu.
Aku memutuskan untuk bangun dan minum. Mungkin segelas air dingin dapat menenangkanku. Aku terhuyung-huyung berjalan menuju dapur, kuambil dan kuminum segelas air dingin. Lalu aku berjalan kembali ke kamar. Aku kembali berhalusinasi, samar-samar kucium wangi parfum yang biasa dipakai Ira.
”Shit! Shit!! Stop Rif…jangan halusinasi lagi!” kataku kepada diri sendiri
Kututup pintu kamar dengan sepelan mungkin dan kusandarkan kepalaku pada daun pintu. Kupejamkan mataku, mencoba untuk bertahan walaupun hatiku terasa sakit.
Tiba-tiba sepasang lengan memelukku dengan lembut dari belakang. Aku terhenyak dari lamunanku dan langsung berbalik.
Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat, Ira. Kepalanya tertunduk dalam.
”I…Ira?” tanyaku dengan tergagap
”Maaf…maafin aku Rif…”
”Ngapain kamu disini? Kapan kamu masuk?”
Ira terdiam sejenak, ia tidak menjawab pertanyaanku. Kemudian dia mengangkat wajahnya dan menatapku.
Aku melihat matanya yang teduh itu mulai digenangi air mata. Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam hatiku.
”Ijinin aku jelasin semuanya Rif…”
Aku hanya diam
“Aku...kemarin…cowok yang waktu itu bukan siapa-siapa Rif”
”Oh ya? Terus?” emosiku mulai naik
”Dia…dia…kenalanku…dia jualan barang-barang BM” Ira menunduk
”Ooh…terus kamu pacari biar dapet barang-barang murah gitu?”
”Bukan!” sergahnya cepat-cepat, ia kembali menatapku mencari secercah rasa percaya dimataku
”Aku…dia emang suka sama aku udah lama…” lanjutnya
”Hoho! Ngaku juga kamu? Udah deh, gausah berbelit-belit…to the point aja!” ujarku sinis
”A…aku mau beli HP yang bagus tapi murah…tapi aku bingung soalnya budgetku terbatas…” ucapnya pelan
”Jadi kamu jual diri gitu cuma buat beli HP?” tanyaku tidak percaya
Ia menggelengkan kepalanya pelan
”Bu…bukan…aku mau beli HP itu buat…buat…” Ira mulai menangis
”Buat siapa? Perasaan tiap orang di keluargamu punya HP deh…ooh…aku tau! Buat cowok lain lagi? Iya?” tanyaku semakin tidak percaya
”A…aku…beli…bu…buat….kamu….” tangisnya pecah
Aku kaget setengah mati. Rasanya seperti petir di siang bolong.
”Buat…aku?”
”Iya…aku tau HP mu yang satu rusak…jadi aku mau beliin yang baru buat kamu…”
”Hah?” aku melongo
“Dia kira…aku kasih harapan ke dia…padahal aku udah bilang Rif…aku udah bilang kalo aku ga ada rasa sama dia…aku..aku juga udah ngasi tau tujuanku deket sama dia…tapi dia ga mau tau…” ucapnya disela-sela tangisannya.
Aku diam saja…sakit, sedih, kecewa, semuanya bercampur.
”Aku tau caraku salah….maafin aku Rif….maafin aku….!” jeritnya, ia memelukku sambil menangis
Aku melepaskan Ira dari pelukanku dan menyeka air matanya…
”Kamu tau darimana HP ku yang satunya rusak?” ucapku pelan, aku masih was-was
”Waktu itu…waktu kamu kerumahku…aku liat casing HP mu yang satunya…”
”Terus?”
”Aku tau kamu nggak mungkin nglepas casing HP yang kamu sayang banget kayak gitu, kecuali rusak…”
”Hah?” aku melongo (lagi), takjub akan kemampuan analisisnya. Memang apa yang dikatakannya semua benar.
”Ah…aku…” aku speechless. Benar-benar nggak tahu harus berkata apa.
”Oh iya, waktu itu, aku liat kamu bawa bungkusan roti. Buat apa?” tanyaku menyelidik
”Itu…roti di toko itu katanya enak…aku beli terus kubawa pulang…niatnya aku mau bikinin kamu roti kayak gitu…”
Hekh! Rasanya aku sudah melakukan suatu kesalahan besar. Seharusnya aku nggak mencurigai Ira kayak gini. Nggak mungkin cewek sebaik Ira selingkuh.
”Aku….” kata-kataku macet di tenggorokan
”Hmm?” Ira menatap mataku
”Aku…minta maaf….nggak seharusnya aku curiga sama kamu….” aku tertunduk tidak mampu membalas tatapan matanya, pipiku terasa panas
Ira tersenyum dan air matanya mengalir lagi
”Ah? Eh? Kenapa nangis lagi?” tanyaku panik
”Nggak apa-apa Rif…” ia memelukku dengan erat
Kemudian aku mencium bibirnya lembut dengan cukup lama. Kami berdua sama-sama terhanyut dalam perasaan kami masing-masing.
Kucium lehernya. Air matanya mengalir lebih deras, namun Ira tersenyum.
”Rif, aku sayang kamu….” bisiknya di telingaku
“Aku juga sayang banget sama kamu…” jawabku sambil melepas kancing kemejanya satu persatu
Kulihat Ira hanya memejamkan mata, tapi entah kenapa ia masih menangis.
Kudorong lembut tubuhnya hingga tiduran telentang di kasurku dan aku mengambil posisi menindih tubuhnya. Setelah kulepas kemejanya, ternyata ia menggunakan tank-top berwarna pink.
Aku menelan ludah, ‘adik’ku terasa ngilu karena baru pertama kali melihat Ira mengenakan tank-top seperti ini. Tank-top itu memperlihatkan belahan dadanya yang sangat merangsang, buah dada yang putih bersih dan kenyal.
”Iraaaa….” erangku tidak tahan
Kuremas-remas buah dadanya dengan penuh nafsu kemudian kulepas tank-top nya. Segera saja kujilat dan kukulum putingnya yang berwarna pink. Kulirik Ira, ia masih menangis dan memejamkan mata.
“Ukhh….” erangnya tertahan
Dengan tidak sabar, kulepas celana jeansnya dan juga celana pendekku. Tanpa basa-basi, kulepas celana dalamnya dan kuarahkan penisku ke arah vaginanya.
Aku tidak mau ambil repot foreplay. Sekali-sekali langsungan aja gitu. Aku berhenti sebentar dan memperhatikan Ira dari atas ke bawah. Penampilannya begitu menggairahkan, ia telanjang di hadapanku dan masih menangis.
Tanpa pikir panjang, kumasukkan ‘adik’ku kedalam vaginanya. Kutatap Ira, ia menggigit bibir bawahnya. Sepertinya ia merasa sakit.
”Sakit ya Ra?”
”Hm-mh…sedikit…” matanya masih terpejam
Kugenjot vaginanya dengan penuh nafsu. Ira yang awalnya hanya diam saja kini mulai bersuara
”Mmmmhh….hhh….hhh….uuuhh…” desahnya lemah
”Cih!” umpatku dengan agak keras
Ira membuka matanya sedikit dan bertanya,
”Kenapa Rif?”
”Nggak papa…kamu ngrangsang banget…nggak kuat…”
Ia menjawab dengan senyum nakalnya. Setelah beberapa menit bermain, Ira minta ganti posisi. Doggy-style.
”Rif, ganti posisi dong…”
”Oh? Mau apa?”
”Doggy-style…hehehe…” jawabnya sambil terkekeh
”Ih…liar juga kamu yah? Hahaha” aku tergelak
Kemudian kami berganti posisi. Kuarahkan penisku ke vaginanya.
”Siaaaapp??” tanyaku
”Siaap…kapan aja sayang…” senyumnya
Dengan gerakan tiba-tiba, agak kasar, kusentakkan penisku kedalam vaginanya.
Tubuhnya mengejang, setelah kugenjot beberapa kali, Ira mulai melenguh.
”Uuuuuhhh…..oooohhh…….”
”Enak?” tanyaku
”Enaaaakk…Riiiffff….aaaahhh….disitu….aaahhhh… .” racaunya
Kupercepat genjotanku hingga semua penisku tertelan vaginanya.
”Iyyaaaaaahhh!! Aaaaawww….awwwwhh….mmmhhh….oooohh…” desahanya mulai berubah menjadi jeritan.
”Eeh…eeh…! Ssstt….jangan keras-keras” bisikku
”Maaafffhhh…..aaaahhh….aassshhh…..eenaaaakkkhh….aa aahhh…” desahnya pelan
Tiba-tiba kurasakan vaginanya meremas penisku dengan kuat. Ira orgasme dengan jeritan tanpa suara, kemudian ia tersungkur di kasur. Tubuhnya basah oleh keringat.
Kuubah gaya menjadi gaya konvensional lagi supaya aku bisa melihat wajahnya yang merasakan kenikmatan itu. Sekitar 10 menit kemudian, penisku berdenyut-denyut. Ira merasakan hal itu dan mencoba mendorong tubuhku menjauh.
”Jangan….di…dalem…Rif…” ujarnya patah-patah
Kedua telapak tangannya mendorong dadaku tanpa tenaga. Aku tidak menjawab. Kucabut penisku dan kuarahkan ke mulutnya.
”Jilatin Ra, isep…uuuhh” erangku
Dengan patuh Ira memasukkan penisku kedalam mulutnya. Tanpa persetujuannya, kupompa penisku didalam mulutnya. Spontan Ira kelabakan, matanya terbelalak ketika penisku masuk hingga kedalam kerongkongannya.
”Nggghh!! Mmmmmhhhh!!!” Ira protes dan berusaha mengeluarkan penisku dari mulutnya.
Tapi ia sudah lemas karena orgasme, jadi yang ia lakukan hanyalah menempelkan telapak tangannya di selangkanganku.
Beberapa detik kemudian aku sampai pada batasku, kusemprotkan spermaku didalam mulutnya disertai perasaan nikmat yang amat sangat.
Crooott….!!
Ira hanya terpejam pasrah ketika mulutnya dipenuhi oleh spermaku. Kukira ia akan segera memuntahkannya, tetapi ternyata ia berusaha menelannya dengan susah payah lalu menjilati penisku sampai bersih. Wajahnya tampak menderita. Kubiarkan penisku mengecil di dalam mulutnya.
”Kamu telan semua?” tanyaku sambil mencabut penisku dari mulutnya
”Hm-mh…ga ada cara lain..” ia berusaha tersenyum
”Uff…maaf yaa….”
”Nggak apa-apa…anggap aja itu hukuman dari kamu…”
Aku tersenyum. Kemudian aku mendekatkan wajahku ke vaginanya dan mulai kujilati klitorisnya. Ira kembali melenguh.
”Uugghh…..udahan Rif…aaaahhh…”
Tapi aku tidak peduli. Kujilati vaginanya dengan buas dan kuremas-remas kedua buah dadanya. Kedua tangannya menekan kepalaku, berusaha memasukkan lidahku jauh lebih dalam kedalam vaginanya. Beberapa menit aku terus menjilat, mengisap, menggigit kecil.
”Aku….keluaaaaar…..” erangnya.
Seketika itu juga tubuhnya menegang dan ia menjambak rambutku dengan kuat.
Cairan orgasmenya memenuhi mulutku. Kali ini aku yang bersusah payah menelan.
Kemudian Ira terkulai lemas, tersengal-sengal. Aku pun membaringkan diri disampingnya, lumayan lelah. Kupalingkan wajahku kearahnya, memang dia kelihatan sudah sangat lelah, Ira tidak mungkin sanggup melanjutkan permainan lebih jauh. Ketika pandanganku agak turun kebawah, aku melihat buah dadanya yang menantang itu, bersih tanpa cacat dan kencang berisi dan saat itu pula nafsuku naik kembali.
Penisku berdiri kembali dengan tegak. Ira melirik kearah penisku, namun aku pura-pura tidak tahu dan memalingkan tatapanku ke langit-langit. Semenit….dua menit…berlalu dalam kesunyian hingga akhirnya Ira membuatku kaget. Ia bangun dengan terhuyung-huyung, ia terlihat sangat lemas. Ia menaiki tubuhku dan tangannya yang gemetar hebat menggenggam penisku dan kemudian memasukkannya kedalam vaginanya dalam posisi woman on top, lalu ia mulai menggerakkan pinggulnya naik-turun.
”Ra? Hei…hei…kenapa kamu? Nggak biasanya…kalo capek ya udah…ngga usah diterusin…” ujarku cepat-cepat. Ira hanya menjawab dengan senyum lemah, matanya sangat sayu.
5 menit berlalu. Tak ada lagi desahan, Ira hanya memejamkan mata dan tersengal-sengal. Aku tidak tega melihatnya, okelah kalau dia ingin kenikmatan, tapi bukan begini caranya! Gerakannya semakin liar. Ketika aku hendak menghentikannya, mendadak Ira tercekat.
”Uuuuunnngggghhhh…..aaaaaahhh….aaaahhh….!!” matanya terbelalak dan vaginanya mencengkeram penisku dengan sangat kuat. Aku merasakan penisku seperti disiram sesuatu yang hangat dalam jumlah banyak.
Belakangan aku tahu ternyata Ira mengalami orgasme yang jauh lebih dahsyat daripada yang sebelumnya..
”Maaf…Riif…aku…udah sampe…batasnya….”
”Ra?! Kamu kenapa hey?!!” aku berteriak panik sambil memegang kedua lengannya.
”Udah…nggak…sanggup..aku…cuma bisa…ngasih…ini. Hap…py…birth…day….” Ira terkulai di atas tubuhku.
Ira tergeletak dipelukanku. Awalnya aku khawatir, tetapi setelah kuperiksa, ternyata ia hanya pingsan karena kelelahan. Kok bisa?? Dasar Ira memang aneh...
"Happy birthday?" ,aku berusaha mencerna kata-katanya dan saat itu juga aku sadar kalau hari ini aku berulang tahun.
Aku benar-benar lupa, mungkin karena stress gara-gara masalahku dengan Ira sebelum ini.
Sebuah kado yang aneh dan agak tidak masuk akal memang, tapi itulah Ira, selalu memberi kejutan-kejutan kecil dalam hidupku.
Kubiarkan ia tidur dipelukanku, penisku yang masih tegak masih menancap di vaginanya. Ku set AC pada suhu terdingin, kutarik selimut tebal untuk menutupi tubuh kami berdua. Hujan pun turun dengan lebat, membuat suhu di kamar menjadi turun beberapa derajat dari yang seharusnya.
Malam itu, kami tidur berdua…lagi.
Esok paginya aku terbangun lebih dulu dan ketika menengok ke samping, kulihat Ira sedang tidur dengan menggunakan lengan kiriku sebagai bantal. Wajahnya terlihat begitu damai dan tidurnya lelap sekali sepertinya karena kelelahan gara-gara tadi malam.
Aku tersenyum. Aku sempat tidak percaya, bagaimana mungkin seorang cewek seperti Ira yang punya segala-galanya, pintar, baik hati, cantik, dan masih banyak lagi kelebihannya mau berpacaran dengan cowok seperti aku. Aku termangu sejenak. Kemudian kubelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Ira malah merapatkan tubuhnya kearahku dan memeluk tubuhku. Lenganku bersenggolan dengan buah dadanya yang lumayan besar itu, maka tanpa ba-bi-bu penisku langsung berdiri tegak.
Kuperhatikan sejenak, rupanya dia tidak terbangun. Muncullah ide nakal di benakku. Kubaringkan Ira telentang dan kunaiki tubuhnya. Aku menahan kedua lengannya. Ia masih saja terlelap. Kuarahkan penisku dan pelan-pelan kumasukkan kedalam vaginanya yang memang tidak ditutupi apapun kecuali selimut yang menutupi tubuh kami berdua.
Karena tidak melakukan foreplay lebih dulu, maka penisku terasa sulit masuk kedalam vaginanya. Kutekan pinggulku lebih kuat dan blesss….akhirnya penisku masuk seluruhnya. Kupompa sekali, dua kali, dan tiba-tiba Ira terbangun. Sekejap saja ia meronta-ronta dan berontak, namun kedua tanganku sudah menahan lengannya sehingga ia tidak bisa apa-apa.
Setelah melihat wajahku, gerakannya melemah dan akhirnya Ira berhenti berontak sama sekali.
“Ooh…kamu Rif…jangan bikin kaget dong…tiba-tiba masukkin ‘adik’ kamu ke ‘itu’ku. Pas aku lagi tidur lagi…ckck” decaknya
“Hehehe…gimana yah….nggak tahan sih” kataku sambil tertawa
“Hehehe…yaudah deh sayang, kita nikmatin aja yuk…” Ira tersenyum lalu menggerakkan pinggulnya perlahan-lahan, mengikuti gerakanku.
Nafsuku terbakar seketika melihat responnya. Kupompa vaginanya dengan liar.
“Uuukkhh….uuuuhhh….pelan-pelan dong Rif! Awww…!” protesnya
Aku tersadar, kuperlambat gerakkanku supaya Ira juga dapat menikmati.
Hanya beberapa menit kemudian tubuhnya sudah dibasahi keringat. Sprei tempat tidurku kusut dan berantakan gara-gara ditarik-tarik oleh Ira.
“Uuuuffhhh…..hhhh…..hhhh…..ooohhh Riiifff….ooohhh….” desahannya berubah liar
Kumasukkan penisku dalam-dalam hingga mentok. Aku tidak berminat untuk berbicara ataupun mendesah. Yang aku inginkan adalah melihat wajah Ira yang sedang orgasme, maka aku berkonsentrasi untuk membuatnya orgasme daripada mencari kenikmatan untuk diriku sendiri.
“Eeekkhh….aaahh….ahhh…aahhhh….” Ira mengerang dengan begitu merangsang.
“Udah mau sampe belum?”
“Hm-mh….sebentar…eehhh….lagi…aaahhh….aahhh…” nafasnya putus-putus
“Aku cepetin lagi ya?” tanyaku sambil mempercepat genjotanku. Ira kelojotan ketika penisku masuk sangat dalam.
“Iyaaahh….cepetin Riff….oooohhh….iyaaa….gituu….mmmhhh….enaaak Riifff…ooohh…” racaunya
Beberapa menit kemudian gerakan tubuhnya semakin liar. Tangannya menggapai-gapai sekelilingnya seperti orang kehabisan nafas. Kedua kakinya menahan pinggulku supaya aku tidak mencabut penisku.
“Sudah hampir…” pikirku
“Aaaaahhhhhhhhh!!!!” Ira menggigit bibir bawahnya dan melenguh keras, tubuhnya menegang, kakinya menekan pinggulku dengan kuat sementara vaginanya meremas-remas penisku. Aku merasa penisku seperti disiram sesuatu yang hangat.
“Mengawali hari ini dengan orgasme. Gimana rasanya? Hehehe” candaku sambil tetap memompa vaginanya.
“Hhh….hhh…hhh…eksotis…” Ira tersenyum sambil memejamkan mata dan mengatur nafas.
“Hhahaha…puas nggak?” aku tergelak mendengar jawabannya
“Puas Rif, puas. Hehehe…pagi-pagi aku udah dikerjain…kamu nakal ya!” jawabnya sambil menepuk kepalaku dengan lembut.
Kukecup bibirnya kemudian kutarik penisku yang masih tegak. Bagiku sudah cukup melihat Ira orgasme, kalau masalah nafsu urutan kedua, yang penting ketika Ira terpuaskan, sebagian nafsuku juga terpuaskan. Dasar aneh.
Melihat hal ini, Ira bertanya dengan heran, “Lho? Udahan?”
“Iya. Udahan. Kenapa?” aku balik bertanya
“Kamu nggak…mmm…keluar?” tanyanya hati-hati
Aku terbahak melihat ekspresi wajahnya,
“Hahahaha…aku nggak ada kelainan! Aku cuma pengen liat kamu keluar aja kok!”
Ira menatapku dengan heran.
”Loh? Tumben? Biasanya kamu ngeluarin didalem…” ucapnya tersipu
”Nggak deh kali ini. Cukup gini aja. Apa mau lanjut? Hehehe” aku menggoda Ira
”Mmm…nggak deh…maaf ya…aku udah capek…lemes nih.” ujarnya lirih
Aku tidak memaksa. Ira bangun kemudian duduk disampingku dan menyandarkan tubuhnya ke dadaku.
”Dingin Riff…mmmhhh…” katanya sambil memeluk tubuhku
”Uh…aku lho ngerasa panas…hehehe” aku terkekeh
Ira tersenyum mendengar jawabanku. Ia merapatkan tubuhnya kearahku.
”Rif…aku sayang kamu…”
“Hei, emang kamu pikir aku nggak sayang kamu?” aku mencubit pipinya
”Ah masa sih?” candanya
”Eh Ra, kamu tau nggak?” tanyaku memancing-mancing
”Ya nggak lah bego! Kamu aja belom ngasi tau aku! Hahaha” kali ini dia mengelus-elus pipiku dengan lembut
“Hahaha iya juga ya! Kamu tu cewek yang paling sempurna tau nggak?”
”Nggak dong, masi banyak cewek lain yang jauh lebih baik dari aku…” Ira tertunduk, ia merendahkan diri
”Hei hei…percaya deh sama aku…aku nggak peduli kalo ada cewek yang lebih dari kamu atau apa, tapi dengan keadaanmu sekarang, dengan tiap kekurangan dan kelebihanmu, cuma kamu Ra cewek yang bagiku paling sempurna!” aku meyakinkannya
“Ah…nggak gitu juga kali…” Ira tersipu
Ira kembali tersenyum. Kami berpelukan cukup lama. Rasanya hangat, aku benar-benar bahagia bisa memiliki cewek seperti dia. Aku hampir menangis karena begitu bahagia
Aku melirik jam dinding kemudian berkata kepadanya,
”Udah jam setengah enam tuh…mandi gih, berangkat sekolah”
”Kamu aja duluan…”
”Aku kan nggak sekolah…ga ada pelajaran, ngapain berangkat ? Hehehe” aku terkekeh
”Ah nggak asik ah…” ujarnya sambil mencubit perutku
”Ih…kamu yaaa!” ucapku gemas sambil mencium lehernya
Ira mendorong wajahku menjauh dan tertawa,
”Ahhh…jangan mulai lagi deh…hahahaha…iyaa iyaa…aku mandi”
Ira bangkit dan berjalan dengan tenang ke arah lemari kemudian mengambil handuk. Aku menatap tubuhnya yang mulus dari atas kebawah. Ia sadar kalau ia sedang dipandangi, maka Ira agak menutupi tubuhnya sambil tersipu.
“Jangan ngeliatin kayak gitu dong….”
”Gimana nggak ngeliatin, sayang? Kamu seksi banget…” aku memujinya
”Ah gombal…” Ira tersenyum kemudian berjalan kearah kamar mandi.
“Oh iya Ra…”
”Hmm?” dia menghentikan langkahnya dan menoleh ke arahku
”Mau….mmm…” aku bingung mau mengatakannya
”Apaan? Mandi bareng? Hehehhee” tebaknya asal
”Bolehkah?” aku bertanya penuh harap
Setelah menatapku agak lama, Ira mengangguk dan tersenyum
”Ayo masuk…!”
Di kamar mandi penisku benar-benar keras dan menegang. Ira sadar akan hal ini, namun dia hanya tersenyum. Aku salah tingkah.
”Iraa…aku pengen…” aku sengaja merengek seperti anak kecil
”Hahaha…udah hampir jam masuk sekolah Rif…” Ira tertawa kecil
”Ya udah…aku ngocok sendiri deh…tapi aku sambil jilatin mem*k kamu ya?” pintaku
”Loh? Kok gitu?” dia terheran-heran
”Iya kan aku jadi nafsu banget kalo liat kamu ndesah gitu…hahahaha” aku tertawa
“Ah..aku nggak ngerti…hahaha…tapi ya udah…jangan lama-lama ya”
Ira duduk di pinggiran bath-tub dan melebarkan kakinya sehingga vaginanya kini terpampang .
“Anjing!” aku memaki keras sekali. Penisku nyut-nyutan melihat vagina Ira yang begitu mulus dan bersih, tanpa ada jemb*t sedikitpun.
”Eh, eh, eh! Kamu kok ngomongnya gitu sih?!”
Ira protes sambil merapatkan kembali kakinya, wajahnya tampak tidak senang.
”Eh yaaahh…jangan ditutup gitu dong…”
“Nggak. Kamu nggak boleh ngomong kasar kayak gitu lagi!” ucapnya tegas
”I..iya…maaf…nggak kuulangi lagi ”
”Janji?”
”Iya..janji”
Setelah itu Ira kembali membuka kakinya. Dengan ganas kujilati pahanya yang mulus itu. Benar-benar bersih dan halus tanpa noda atau cacat sedikitpun.
Ira merintih-rintih ketika lidahku sampai dibibir vaginanya. Aku menusukkan lidahku dengan liar kedalam vaginanya.
”Aaaaaaahhhhhh!!! Uuuukkhh….uuuuhhh….” ia menjerit dan mendesah
”Kyaaa! Hmmmmff….hhhh…uuuaaahh…”
Ira berteriak dan mengerang ketika klitorisnya kugigit dengan pelan.
“Terusin Riff…oooh…yeah…that’s right baby…ooohh….ooohhhh…jilatin terus…aaahhhnn….disitu…ooohhh…mmmhhh” ia benar-benar lepas kontrol
Hanya dalam beberapa menit, karena Ira sudah horny dan posisi kakinya mendukung, segera saja ia mengalami orgasme. Pahanya yang halus itu menjepit kepalaku dan tangannya mendorong kepalaku dari belakang agar lidahku bisa masuk lebih dalam.
“Aaaaaarrrggghhhh…..!!” ia mengerang penuh kenikmatan ketika akhirnya ia orgasme
Ira mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk beringsut ke sisi lain bath-tub dimana ia kemudian bersandar pada dinding kamar mandi. Nafasnya terengah-engah, keringatnya bercucuran dan di bibirnya tersirat senyum kepuasan.
”Uuuuh….” Aku bersusah payah menahan nafsu yang menggelora.
Tiba-tiba Ira bangkit dan berlutut dihadapanku.
Ia mengusap-usap penisku dan berkata, “Kalo aku bisa bantu kamu nenangin adik kamu ini, kita berhenti yaa? Kalo dilanjut, ntar aku bisa telat Rif”
Tanpa banyak cing-cong, Ira membenamkan penisku kedalam mulutnya. Ia mengurut penisku dengan menggunakan mulutnya, dan didalam, lidahnya membelit-belit penisku.
Aku berusaha mendesah, tapi tidak keluar suara apapun dari mulutku. Yang dapat kulakukan adalah duduk di pinggiran bath-tub dengan wajah memandangi lampu kamar mandi. Rasanya seperti disurga.
Ira benar-benar sudah professional dalam blow-job, bukan karena dia sering melakukan blow-job, tetapi semata-mata karena Ira adalah cewek yang pintar dan cepat belajar, ia cepat hafal tempat-tempat yang paling merangsangku.
Kalau soal blow-job, bisa dipastikan hanya sekitar 3 menit ‘adik’ku pasti muntah. Dan memang ini yang terjadi. Penisku rasanya berdenyut-denyut dan lututku lemas. Sedetik kemudian spermaku muncrat dengan deras di dalam mulutnya. Namun sayang, Ira masih belum bisa memperkirakan kapan keluarnya spermaku sehingga ia tersedak dan terbatuk-batuk.
”Ah! Maaf Ra maaf…!” kataku sambil menepuk-nepuk punggungnya berharap hal itu dapat membuatnya merasa baikan
”Uhuk! Uhuk! I..iya…uhuk!! Nggak apa-apa…” Ira berusaha tersenyum
”Kamu keluar yaa? Aku mau mandi dulu…hehehe” lanjutnya sambil menjilat bibirnya yang berleleran sperma.
Aku pun menurut dan melangkahkan kaki keluar kamar mandi. Setelah Ira selesai mandi, dan akupun telah bersiap-siap, kami berangkat kerumah Ira untuk mengambil seragam yang tidak dibawanya. Keherananku terjawab ketika kami sudah diluar rumah, ternyata kedua orang tuaku ada tugas mendadak di luar kota dan berangkat kemarin, tepat ketika Ira datang tanpa berpamitan kepadaku.
Kami sampai di depan rumah Ira, ketika orang tuanya hendak berangkat kerja naik mobil.
Ira nyelonong masuk setelah mengucapkan selamat pagi.
"Oohh...Arif, Ira tadi malem dari mana sih?" tanya Ibunya
"Eehh...eemmm....dari..." aku tergagap, takut dan bingung mau menjawab.
"Hayoo...habis dari mana nih??" Ibunya semakin menggodaku
"Ira tadi malem nginap dirumahnya Arif Ma, Pa...kan udah bilang kemarin..." Ira keluar, telah berganti seragam osis dan langsung memutus percakapan kami
"Hah?? Gile ni anak!! Terus terang amat?!" pikirku
"Iya...nginap sih nginap...tapi nggak ngapa-ngapain Ira kan kamu?" tanya Ayah Ira dengan penuh selidik
"Ng..nggak dong Oom...haha...emang...emang mau ngapain? Hahaha..." aku semakin gugup
"Hahahahaha!! Ya kirain ngapaaaaiiinn gittuuuu....!" goda sang Ibu
"Nggak dong tante...hahaha..."
"Anjrit! Udah sono cepetan pergi! Ntar ketauan aku sering ML sama Ira bisa mampus!!
"Udah deh Mah, Pah, nggak usah khawatir berlebihan dong...sono berangkat" Ira tersenyum kepada orang tuanya
"Yaudah deh, Arif, Ira, Mama Papa berangkat dulu yaa" mereka melambaikan tangan
Brrrmmmm.....Mercedes itu pun melaju dengan mulus menjauhi kami.
Aku menstarter motorku.
Ketika Ira duduk dibelakangku, aku bertanya sambil berbisik
"What the hell was that?!"
Ira tersenyum...
----------------
Aku sampai di SMA tempat Ira bersekolah kira-kira pukul 06.45 AM.
Ternyata sekolahnya sudah cukup ramai oleh anak-anak. Aku berhenti di gerbang sekolah dan Ira turun disitu.
“Aku sekolah dulu ya Rif” pamitnya
“Iya…belajar yang pinter ya…oh iya, ada ulangan nggak?” tanyaku
“Mmm…ada…ulangan metematika…hehehe”
“Ya udah. Sukses yaa…ayo kamu bisa dapet 100” kataku menyemangatinya
Ira mengiyakan. Ketika ia berbalik dan hendak pergi, aku menarik tangannya.
“Hei…kok ngeloyor gitu aja?” aku tersenyum
“Uhh…masa disini sih?” tanyanya ragu-ragu
Setelah menengok ke kanan kiri, Ira mengecup bibirku dengan cepat.
“Makasih ya Rif” ia tersenyum dan berbalik kemudian masuk kedalam sekolah
Aku tersenyum memandanginya masuk kedalam sekolah. Ira sesekali menoleh ke arahku dan melambaikan tangan. Aku memutuskan untuk pulang. Hatiku dipenuhi kebahagiaan sehingga ketika perjalanan pulang aku tersenyum kepada siapa saja yang kutemui.
Namun aku tidak menyadari, bahwa kebahagiaanku ini tidak akan bertahan lama…dan itu terbukti beberapa hari kemudian.
3 hari kemudian…
SMA tempat Ira sekolah. 10:25 AM
“Ayolah Ra…apa sih susahnya buat kamu?” cowok itu memaksa
”Nggak. Aku nggak bisa.” Ira menggeleng tegas
Cowok itu uring-uringan dan kemudian meninggalkan Ira ketika melihat aku and the gank berjalan kearah mereka.
”Kenapa sayang?” tanyaku
“Dia nembak aku barusan…haha” Ira tersenyum pahit
”Oh…” aku berusaha terdengar seperti tidak tertarik, walaupun dadaku rasanya ngilu
“Aku tolak dia kok…lagian aku juga nggak ada rasa sama dia…”
Aku mengenal Ira sejak beberapa bulan lalu kami jadian. Dan memang kuakui, selama ia berpacaran denganku bahkan hingga detik ini sudah ratusan sms dan telepon yang masuk ke handphone nya 95% adalah sms pedekate dan ngajak kenalan. Tapi aku tidak mempedulikan hal itu karena aku percaya sepenuhnya kepada Ira dan juga karena Ira tidak pernah membalas atau merespon sms dan telepon yang masuk itu.
”Rif? Kamu nggak percaya sama aku?” ia bertanya dengan hati-hati
”Ah…percaya kok” aku menjawab singkat walaupun hatiku berkata lain.
Aku menerawang ke langit, mencoba mengalihkan perhatianku.
Teman-temanku menunggu kami dengan sabar. Tidak ada dari mereka yang berusaha menginterupsi ataupun mengganggu percakapan kami.
“Rif, aku tau kamu nggak percaya sama aku. Tapi sungguh Rif, ga akan ada cowok lain selain kamu dihatiku…” ucapnya lirih
Aku tersenyum mendengar kata-katanya. Ah, rupanya Ira memang benar-benar mencintaiku sepenuh hati.
”Aku percaya kok Ira-ku sayang…” aku tersenyum.
Kutepuk kepalanya dengan lembut.
Ira menubrukku dengan keras dan memelukku. Aku merasa geli dalam hati melihat tingkahnya yang seperti anak kecil itu.
”Percaya deh sama aku…AKU NGGAK AKAN PERNAH NGEKHIANATIN KAMU” kalimat itu diucapkannya dengan mantap.
”Iya, aku percaya kok sayang…” kukecup bibirnya
”Oooooooooooowwww!! AGAK PANAS YA KAYAKNYA GUYS?!” Setyo bersorak keras kepada teman-temanku yang lain, menggodaku. Mereka semua tertawa
”Apaan sih kalian? Iri yah? Hahahahaha” aku balas mengejek
”Iya nih ngeganggu aja…hehehe” Ira terkekeh kepada mereka kemudian menarik krah seragamku dan mengecup bibirku lagi.
You and I together it just feels so right
Aku melepaskan pelukannya
”Oh iya sayang, kita mau pada kumpul bareng neh…biasa…hehehe…kamu ikut kan?”
”Mmmm…iya oke! Jam berapa?” tanya Ira
”Ini langsungan pulang sekolah…kebetulan Angel dll mau nyari jaket, mereka ngajak kamu sama Dian juga…” aku mengelus pipinya
”Aduhh…tapi aku musti nyerahin tugas ini dulu…mmmhh…gini aja, kalian kumpul aja dulu dirumah Angel, ntar aku nyusul bareng Dian…oke?” Ira tersenyum
”Oke deh…aku tunggu ya sayang…” aku kembali mengecup bibirnya
Setelah itu, aku, Setyo, Rangga dan Tama berjalan keluar kearah parkiran mobil, sementara Ira sibuk mengaduk-aduk tasnya mencari sesuatu.
”Tyo, Ngga, Tam, perasaanku kok nggak enak ya?” tanyaku kepada mereka
“Ah mungkin kamu kecapekan kali Rif…” sahut Rangga
”Iya…kan akhir-akhir ini kamu dapet tugas berat-berat toh?” Tama menimpali
Setyo hanya diam saja. Tatapannya tampak serius.
”Oya, Dian mana? Tadi kok nggak keliatan?” tanyaku lagi kepada Setyo
Memang Dian dan Ira sesekolah, sekelas bahkan. Mereka adalah sahabat dekat.
”Lagi praktek seni Rif…aku SMS juga nggak dibales…” jawabnya murung
”Oohh….” Sahutku cepat, bingung mau melanjutkan percakapan
Tiba-tiba Setyo mendesis,
”Jujur Rif, perasaanku juga nggak enak…”
Aku tertegun…
Di rumah Angel…
“Aduh… mana nih si Ira sama Dian? Kok lama banget sih?” Angel mengeluh
“Aku SMS nggak dibales, aku telepon nggak diangkat…aneh…!” aku mulai cemas
“Aku juga gitu…pada kemana yah?” sahut Angel dan Luna hampir bersamaan
”Kita susul aja yuk!” ujar Setyo sambil bangkit berdiri.
Aku hanya mengangguk. Kami semua pun naik mobil Rangga dan meluncur ke sekolah Ira dan Dian. Di mobil, tidak ada yang berbicara, semuanya hanya diam…kami semua cemas. Jalanan yang kami lalui sepi dan banyak lahan-lahan tak terurus…mungkin para investor tidak tertarik untuk menanamkan modalnya ditanah yang letaknya tidak strategis ini.
Tidak biasanya Ira tidak dapat dihubungi. Ini benar-benar aneh.
Di jalan, pandanganku tertumbuk pada sebuah motor Vario biru yang diparkir dipinggir jalan dan disekitarnya ada 3 motor, yah, tau sendiri kan motor yang bunyinya berisik itu, yang biasa dipakai oleh anak-anak urakan…
Sekilas tidak ada yang aneh...
”Tyo! Tyo! Bukannya itu motor si Dian yah?” tanyaku kepada Setyo.
”Iya! Bener! Lagi ngapain dia disini?! Ngga! Stop! Brentiin mobilnya!!” raung Setyo
”This is bad…” Tama mendesis
”Kenapa?” tanyaku cepat-cepat
“Berdoa aja semoga aku salah” katanya cepat-cepat
Kami sudah tidak ambil pusing. Karena seharusnya Ira pulang bersama Dian!
Aku turun dari mobil dan berlari kearah Vario itu diikuti oleh Setyo dan yang lainnya. Knalpotnya masih hangat, berarti belum lama diparkir disini.
Aku dan Setyo semakin gugup melihat dihadapan kami adalah lahan kosong yang banyak ditumbuhi semak belukar yang tingginya bisa mencapai 2 meter. Kami berdua berlari seperti kesetanan menembus lebatnya semak-semak itu hanya naluri dan insting yang kami ikuti. Rangga, Tama, Luna dan Angel susah payah mengikuti kami.
Ketika sampai pada lahan yang cukup terbuka, langkahku dan Setyo terhenti. Kami tercekat, lututku terasa sangat lemas dan tanganku gemetaran.
Dihadapan kami…
Dian sedang dipegangi oleh seorang cowok sementara cowok lainnya tengah menggenjot vaginanya. Hal yang sama juga terjadi pada Ira. Kancing seragam mereka terbuka semua, seragamnya tampak kotor oleh tanah serta sobek disana-sini, celana dalam dan bra mereka tergeletak ditanah tak jauh dari situ. Ada 6 cowok yang tengah memperkosa pacar kami.
”Aaaarrrggghhh….memek lo emang enak banget Ra! Uggghhh…!!” kata seorang cowok yang belakangan kuketahui bernama Fariz sedang memasukkan penisnya kedalam vagina Ira.
”Lepasin aku! Lepasiiiinn!!” Ira menjerit-jerit dan meronta sekuat yang dia bisa. Namun Izal, cowok yang memegangi tangannya lebih kuat.
“Woww…toket lo kenyal benget yaa, gede lagi. Gue jadi ngaceng lagi neh, padahal tadi udah ngecrot dimemeknya Dian. Hahahha” ujar Dinar sambil meremas kedua payudara Ira yang tidak ditutupi apapun.
”Jangan sentuh aku! Jangan sentuuuhh!!!” Ira menjerit histeris
“Hhahahaha…dasar pecun bego! Udah jelas kontol gue lagi didalem memek lo, lo masih bisa bilang jangan sentuh? Hahahaha!” Fariz tergelak hebat
”Naah…gitu…ooohh…woy, yang ini mulutnya enak banget buat dientot!” Gilang, sedang memasukkan penisnya kemulut Dian
”Mmmm…susu lo enak buat diremes-remes ya! Sayangnya lo gamau jadi pacar gue!” payudara Dian diremas dengan kasar sehingga ia melenguh kesakitan sementara penis Anton menghunjam vaginanya
Fendi membuka ritsleting celananya di depan muka Ira,
”Eh, daripada lo teriak-teriak gitu, mending lo emut aja kontol gue! Kan lebih bermanfaat gi—aaaaaarrrggghhh!!!” Fendi roboh kesamping.
Aku memukul tengkuknya sekeras yang aku bisa. One down, five to go!
Setyo sudah menarik Gilang menjauh dari Dian lalu segera terlibat baku hantam.
Bajingan-bajingan itu tampak kaget melihat kami, tapi mereka tidak berhenti mempermainkan tubuh Ira dan Dian
“Bangsat! Eh, lo berempat urusin mereka berdua! Gue mau nglanjutin ngentot nih pecun, ntar kalo gue udahan, terserah mau lo apain dia!” perintah Fariz kepada anak buahnya sambil menunjuk kami kemudian Ira. Ketiga cecunguk sisanya bangkit berdiri dan maju melawan kami.
”Aaaaaaaaahh!!!” Ira menjerit kesakitan ketika penis milik Fariz disodokkan dengan kasar. Ia menangis, air matanya mengalir dengan deras, Ira hanya mampu memberikan perlawanan tak berarti.
Singkat cerita, aku dan Setyo bergelut mati-matian melawan 4 anak SMK (sensor) yang terkenal battle-hardened dan doyan tawur itu. Disela-sela pertempuran itu, aku sempat melihat Dian yang tergeletak tak sadarkan diri di sebelah kanan Ira, darah dan lendir putih kemerahan mengalir pelan dari vaginanya, hatiku ngilu, rupanya Dian sudah digilir oleh mereka semua hingga vaginanya lecet.
Aku melihat Ira yang tubuhnya masih dijadikan pemuas nafsu oleh keparat Fariz itu.
”Guuh! Memek lo ngejepit kontol gue? Haahaha…pecun! Enak kan dientot sama gue?!”
Tangan kirinya menahan kedua pergelangan tangan Ira dan tangan kanannya meremas-remas payudaranya dengan kasar, aku bisa melihatnya.
”Nggak…nggak…lepasin aku…please…” Ira menangis tersedu-sedu. Diwajahnya tersirat penderitaan yang amat sangat.
“Anjing! Lo merintah gue?! Inget, lo sekarang tu pecun!” Fariz menampar pipi kirinya (Ira) dengan keras.
”Riz, aku nggak nyangka kamu bakal tega kayak gini…!” tangisnya semakin keras, pipinya memerah bekas tamparan Fariz
Fariz melirik kearahku yang sedang sibuk berkelahi, mata kami bertemu
”Hahahaha…salah siapa lo nolak gue dan malah jadian sama cowok cupu kaya dia!”
“Arif jauh lebih baik daripada binatang kayak kamu!” Ira menghinanya. Sungguh berani, meningingat dia sedang dalam situasi seperti ini.
Fariz menoleh kearahnya dan melotot.
”Bangsat! Lo ngatain gue binatang?! Hhahaha…liat aja, binatang juga bisa ngehamilin lo! Nih rasain!! Nih!” Fariz menyodokkan penisnya sekasar mungkin
”Aaaaaaahh!! Sakiitt!!!” Ira menjerit pilu. Hatiku hancur mendengar jeritannya itu. Jeritan yang akan menghantuiku bertahun-tahun kemudian.
“Hahaha…gue hamilin lo, pecun! Biar masa depan lo ancur! Ini akibat buat cewek yang nolak gue! Ngggghhh…!!” Fariz melenguh
Ira terbelalak, berusaha mati-matian mendorong tubuh Fariz menjauh.
”Jangan Riz! Please jangan!! Jangan dilanjutin! Stop!!” ia menjerit-jerit putus asa.
Aku bagai tersetrum listrik menyaksikannya. Aku berusaha menghindari Anton dan Izal yang sedang mengeroyokku dan berusaha berlari kearah Fariz. Baru beberapa langkah, mereka berdua sudah menghadangku lagi.
”Keparat! Minggir kalian anjing!!!!” aku meraih kepala mereka berdua dan membenturkannya satu-sama lain dengan kekuatan yang bahkan aku pun tidak menduganya, namun sekarang bukan waktunya untuk tertegun. Mereka berdua tumbang, terkulai tak bergerak.
Aku melanjutkan berlari kearah Fariz, tanganku terulur untuk menggapainya…
Sedikit lagi….
”Aaaaaaaaaaaaarrrrrrggghhhhhh!!!” Ira dan Fariz berteriak bersamaan…
Satu jeritan berbeda makna, yang satu jerit kenikmatan, yang satu jerit keputus-asaan dan penyesalan. Ira menutupi wajahnya dengan tangan dan menangis histeris, sementara cairan putih kental mengalir pelan dari lubang vaginanya.
Aku terlambat…
Fariz mencabut penisnya dari vagina Ira dan memutar badannya kearah pertempuran
”Nah, sekarang, gue mau ngurusin cecunguk-cecunguk itu du—“
BUAAAAAKKKK!!!!
Aku sukses menjejakkan kakiku dengan keras di muka Fariz. Ia terjungkal kebelakang.
“Bangsat! Lo nggak tau siapa gue hah?!” Fariz bangkit sambil mengelap hidungnya yang berdarah
”Kamu…binatang…!!” aku menggeram. Rasio sudah tidak jalan, dan hanya satu yang ada dipikiranku, aku harus membunuh anjing ini, atau minimal kuhajar sampai koma.
”Hohoho…lo mau ngelawan gue? Anak mami kayak elo mau ngelawan gue?! Nggak usah bikin gue ketawa!!” ia berteriak dan menerjang ke arahku.
Fariz diliputi kemarahan sehingga dia tidak dapat berpikir jernih, yang dia lakukan hanya menerjang dengan membabi buta. Sayangnya, aku sudah memasang kuda-kuda dan tanganku sudah siap.
”Son of a bitch!!” aku meraung sekuat tenaga dan…
BUAAAAAKK!!!
Fariz terpelanting kebelakang ketika kepalan tanganku menghantam hidungnya dengan sangat keras. Fariz terkapar tak sadarkan diri, darah segar mengalir dari pelipisnya yang terbentur batu dan hidungnya yang terkena pukulan serta jejakkan kakiku. Semudah itukah? Kurasa iya...seseorang akan mengeluarkan kekuatan sesungguhnya ketika ia ingin melindungi sesuatu atau seseorang yang dicintainya.
Aku terengah-engah. Wajahku penuh bilur-bilur dan sepertinya buku-buku jariku lepas. Aku meraba dadaku, syukurlah tidak ada tulang rusuk yang patah. Walaupun begitu, sekujur tubuhku penuh lebam, lecet dan memar.
”Nikmati rasanya mati pelan-pelan….” Seseorang dengan suara berat berbisik disampingku
Aku tersadar, ternyata Setyo sedang memotong urat nadi Fendi dengan sebilah pisau yang (aku nggak tau dapat darimana) tiba-tiba ada ditangannya. Aku menoleh dan menyapukan pandang kearah mereka, Fendi yang terakhir disayat urat nadinya sementara cecunguk lainnya sudah terkapar dengan darah yang mengalir dari tangan.
”Tyo?” aku memandangnya.
“Do you want to try some?” Setyo tersenyum buas sambil mengulurkan pisau itu kepadaku, matanya sungguh liar.
Setyo sudah dikuasai setan dia tidak lagi mampu berpikir rasional...begitu juga aku
Aku menjawab dengan senyum yang tak kalah buas. Ketika pisau itu sudah berada ditanganku, aku menghampiri Fariz yang masih terkapar.
Saat aku sudah mengangkat pisau dan hendak menikamnya, tiba-tiba sebuah suara menghentikanku
”Jangan Rif! Udah cukup…!” Ira berkata lirih, ia tertunduk.
Astaga! Aku begitu dikuasai amarah dan kebencian sehingga aku sampai melupakan Ira.
Aku bergegas lari kearahnya.
”Jangan sentuh aku!!!” Ira menjerit histeris ketika aku mengulurkan tangan hendak menyentuhnya, ia menatapku dengan penuh ketakutan
”Ira, Ira sayang, ini aku…ini Arif Ra” aku berkata lembut dan mengelus pipinya
”Jangan sentuh aku!! Pergi kamu!! PERGI!! AKU NGGAK MAU LIAT MUKAMU LAGI!!!” ia menepis tanganku dan menjerit histeris. Air matanya kembali mengalir.
”Ira! Ira, sayang, ini aku sayang…!” aku meletakkan tanganku dibahunya.
”Aku bilang pergi!!!” Ira memukul-mukul dadaku dengan keras.
Aku bergeming. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri, apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah meninggalkannya.
Melihatnya, hatiku terasa pedih…Ira telanjang tanpa mengenakan sepotong pakaian pun, kulitnya yang putih bersih belepotan tanah, di punggungnya banyak lecet-lecet akibat bergesekan dengan batu-batu kecil, tubuhnya berkeringat, vaginanya memerah karena digesek terlalu keras dan yang paling menyakitkan adalah tatapan matanya yang begitu putus asa, sedih, dan ketakutan.
”Pergi…tinggalin aku sendiri…” isaknya lirih
”Nggak akan pernah…!” kataku lembut tetapi tegas.
Kulepas seragamku dan kupakaikan padanya. Kurengkuh tubuhnya dan kupeluk untuk menenangkan dirinya.
”PERGI! JANGAN SENTUH AKU!! Jangan sentuh aku….” Suaranya melemah disela tangisnya. Ira mendorong tubuhku menjauh dan meronta-ronta, tetapi aku tidak peduli, tetap kupeluk tubuhnya.
“Ira tenang ya sayang…Arif disini…” aku berusaha menenangkannya.
"Pergi...! Pergi..." suaranya bertambah pelan disela tangisnya
"Nggak...!" aku mempereat pelukanku. Ira menolak dan meronta sekuat yang dia bisa.
"Tinggalin aku!" isaknya lirih.
Ira mulai berhenti meronta hingga akhirnya ia balas memelukku. Ia memelukku dengan sangat erat dan menangis didadaku.
”Ira…Ira…udah kotor Rif…Ira udah kotor!!”
”Ssssstt…udah…udah…yang penting kamu nggak luka parah ya sayang…nggak apa-apa...” aku menangis.
Aku bisa merasakan penderitaannya yang teramat sangat. Pipiku terasa panas dan air tak henti-hentinya mengalir dari kedua mataku.
”Ira kotor Rif…! Ira kotor!! Ira udah nggak layak buat kamu…! Pergi Rif! Tinggalin aku!! ” ia mendorong tubuhku agar menjauh
“Nggak…Arif udah pernah janji sama Ira kan, apapun yang terjadi, Arif nggak akan pernah ninggalin Ira?” aku mencoba tersenyum, namun gagal…aku kembali menangis.
“Nggak…nggak pantes…aku…kotor…” hanya kata-kata itu yang terdengar disela tangisnya.
”No matter what happen, even when the sky is falling down, I promise you that I will never let you go…Ira masih inget kata-kataku kan? Arif nggak akan pernah ninggalin kamu…” aku mencoba menahan tangis yang mulai keluar lagi.
Kami berdua berpelukan hingga Tama, Rangga, Angel dan Luna datang bersama sepasukan polisi dan petugas medis. Sirene meraung-raung di siang hari yang kelam itu.
(setelah urusan tetek bengek selesai)
”Maaf mas…siapa? Arif ya? Iya…mas Arif dan mas Setyo bisa ikut ke kantor?” tanya polisi yang bernama Suprijadi itu.
”Baik pak. Tapi sebelumnya saya mau ngurus pacar saya dulu.” Jawabku tegas
”Tidak perlu mas. Mengenai saudari Ira dan Dian sudah ditangani oleh teman-teman anda. Anda tidak perlu khawatir…” polisi itu tersenyum
”Oke pak…” aku pasrah.
“Baik. Silakan naik ke mobil” katanya sambil membukakan pintu mobil polisi.
Tiba-tiba Ira berjalan terseok-seok kearahku. Ia mengenakan sehelai selimut yang didapatnya dari petugas medis di ambulans.
”Rif…jaga diri baik-baik ya…mungkin ini saat terakhir kita ketemu…” Ira berkata lirih
”Maksud kamu apa sayang?” aku terbelalak
Sejenak Ira terdiam, matanya berkaca-kaca membuat hatiku jadi tidak karuan. Untung tidak ada yang mengetahui kalau diam-diam tanganku gemetaran ketika mendengar Ira berkata seperti itu padaku.
”Aku…Ira nggak bisa lagi bersama-sama Arif…maafin Ira…” ia menunduk, air matanya mengalir lagi.
Aku tertegun. Benar-benar campur aduk perasaanku.
“Apa yang harus kulakukan?! Membiarkannya pergi? Hanya gara-gara masalah seperti ini?! NGGAK!! Kita udah janji, apapun yang terjadi, seburuk apapun, kita nggak akan ninggalin satu sama lain!”
”Kamu mau pergi ninggalin aku?! Kamu tega Ra?!” ujarku setengah menjerit
”Jaga diri baik-baik ya…Ira akan selamanya sayang sama Arif…walaupun kita terpisah jauh…” katanya sambil melangkah pergi ke arah teman-temanku.
Kuraih tangan Ira dan kutarik dirinya pelan kearahku, ia kaget dan berbalik.
“Tunggu Ra! Kenapa Ra? KENAPA?!!” aku berkata frustasi sambil memegangi tangannya yang kini pucat, tangan yang dulunya hangat dan lembut, tangan yang selalu dapat menenangkan aku seberapapun liarnya aku.
”Ira nggak punya pilihan lain…Ira…Ira nggak mau malu-maluin kamu…” ia terisak
”Malu?! Kenapa musti malu?!!” aku berkata tajam
”Ira nggak mau bikin kamu malu punya pacar yang udah ternoda kayak Ira!!” kini Ira berteriak dihadapanku sambil menangis
“Oh ya?! Bukannya aku udah pernah bilang, apapun yang terjadi, apapun—“
”APAPUN KECUALI INI RIF!!” Ira berteriak histeris sambil menutup kedua telinganya
Aku merasa ada jutaan ton beban diletakkan dibahuku. Memang Ira benar, mungkin aku bisa menerima Ira yang sudah ternoda…tapi tidak dengan Ira!! Ia merasa dirinya tidak pantas untukku, dan aku tidak punya hak untuk melarangnya berpikir seperti itu meskipun aku tidak pernah mempermasalahkannya.
“Get real Rif…” Ira berbisik
”Gara-gara masalah ini Ra? HANYA KARENA MASALAH INI?!!” aku berteriak.
Emosi, kesedihan, kepedihan, penyesalan, kemarahan dan putus asa…hanya itu yang dapat aku rasakan sekarang
“TAPI INI KENYATAAN!! AKU UDAH KOTOR RIF!! KOTOR!!” ia balas berteriak
”OH YA?! KAMU PIKIR AKU PACARIN KAMU CUMA GARA-GARA TUBUHMU DOANG HAH?! IYA?!!” kata-kataku tepat mengenai sasaran.
“AKU NGGAK PERNAH BERPIKIR KAMU KAYAK GITU KE AKU!! AKU—“
"AKU BILANG, APAPUN, APAPUN RA! AKU NGGAK PEDULI KAMU SEKOTOR APAPUN! AKU CINTA KAMU SEPENUH HATI RA! KAMU TAU—"
"TAPI AKU PEDULI RIF! AKU PEDULI! AKU NGGAK MAU NGERUSAK NAMA BAIK KAMU, KARENA APA? KARENA AKU JUGA CINTA SAMA KAMU!!" Ira berteriak dengan keras
“Then why...you let me to die here…?” aku berbisik
Wajahnya sedikit melunak namun hanya aku, dari semua orang yang ada disini yang menyadarinya.
”Aku nggak ninggalin kamu buat mati disini Rif. Ini bukan akhir buat kamu. Kamu masih bisa ngelanjutin hidup kamu—“
"TAPI KENYATAANNYA?! KAMU LEBIH MILIH NINGGALIN AKU KAN?!!” aku kembali berteriak.
Suasana kembali panas. Para petugas polisi tidak ada yang berusaha melerai kami. Mereka hanya diam mendengarkan. Petugas medis melongo melihat kami. Teman-teman kami hanya menatap kami sambil berpegangan tangan satu sama lain. Tak sepatah katapun keluar dari mulut mereka semua. Seolah dibumi ini, hanya kami berdua yang bersuara.
Ira kembali terpancing emosi,
“MASA DEPANMU MASIH CERAH RIF!! HIDUP KAMU MASIH PANJANG DAN—“
“DAN APA?! KAMU PIKIR AKU BISA HIDUP TANPA KAMU DISISIKU RA?! KAMU ITU—“
PLAAAKK!!!
Kata-kataku terpotong oleh sebuah tamparan keras dipipi kiri. Ira menamparku. Bukan sakit yang kurasakan, namun kepedihan dan kesedihan.
Matanya yang teduh telah tiada…yang kulihat hanya keputusasaan dan penyesalan.
“Kenapa Ra…? Kenapa…??” aku berkata lirih
“Cukup Rif…aku…harus pergi…aku nggak bisa bersama kamu lagi…” Ira mengucapkannya dengan suara bergetar kemudian ia berbalik dan melangkah menjauhiku.
Semuanya memandang kepadaku dengan iba. Lututku lemas melihat Ira ternyata lebih memilih meninggalkan aku seperti itu.
“Ira!” aku berteriak memanggilnya
Aku terus menatapnya sampai ia telah berada di sisi teman-temanku
”Kalo kayak gini caranya, KAMU UDAH NGEKHIANATIN AKU!!” seruku putus asa
“KAMU DENGER?! KAMU NGELANGGAR JANJIMU SENDIRI!!” hatiku benar-benar tersayat. Mataku terasa panas dan ingin menangis lagi.
Ira kembali menangis, ia menutupi wajahnya, Angel memeluknya dan menuntunnya masuk kedalam mobil. Angel menatapku dan menggeleng lemah. Rangga dan Tama tertunduk.
“Mas, silakan masuk mas! Tolong jangan berlama-lama…” pak Suprijadi menepuk bahuku dengan lembut, ia mengerti kepedihanku sehingga dia tidak terlalu tegas kepadaku.
Sekilas kulihat Fariz dan anjing-anjingnya sedang ditandu masuk kedalam ambulans dengan tangan yang diperban, ambulans yang berbeda dari Dian tentunya.
Aku masuk ke mobil patroli dengan berat hati. Setyo duduk disampingku, ia menatap kearah ambulans yang membawa Dian sementara aku memandangi Ira yang duduk dimobil. Ira melirik kearahku, kemudian memalingkan wajahnya pelan-pelan dan menutup kaca mobil. Mobil Rangga pun melaju pelan, membawa belahan jiwaku pergi meninggalkan aku.
“Kuserahkan semuanya kepada kalian ya teman-teman…”
====================================
Setelah melewati proses yang berbelit-belit dan melelahkan yang memakan waktu sampai sekitar 3 bulan, aku dan Setyo dinyatakan tak bersalah dan kami dibebaskan. Walaupun aku tidak tahu bagaimana caranya.
Segera saja kucari info mengenai Ira. Angel berkata bahwa Ira tidak hamil dan baik-baik saja, aku sangat bersyukur mendengarnya. Tetapi dia sangat terguncang sehingga ia memilih meninggalkan Indonesia dan melanjutkan SMA nya di Paris.
Aku tercengang dan hanya bisa tersenyum pahit menghadapi kenyataan ini…
Sesampainya dirumah, aku mengepak barang-barangku. Aku akan menyusulnya ke Paris!
Syukurlah orang tuaku mengijinkan karena ada saudaraku yang tinggal di Paris.
Biarlah, yang dia khianati adalah janjinya, bukan aku. Yang jelas aku tidak akan pernah meninggalkannya dalam kondisi desperate seperti ini!
====================================
Di airport…
”Ma, Pa, Arif janji bakal baik-baik aja disana…” kataku pamit kepada orang tuaku
”Oke…jaga diri baik-baik yaa…jangan lupa makan dan blablablabla” kata-kata Ibuku tidak terdengar lagi ketika kulihat 3 pasang cowok dan cewek membawa koper berjalan kearahku. Yup, mereka adalah Rangga, Tama, Setyo, Angel, Luna dan Dian.
”Rif, kelupaan sesuatu? Eh, beberapa orang lebih tepatnya?” tanya Setyo
”Ka…kalian ngapain?!” aku tergagap
”Ikut kamu dong…kita semua nggak akan pernah pisah lagi…hehehe!” Rangga meninju bahuku
"Hahahaha...jangan ngelawak deh kalian...!" aku tertawa.
Aku menatap mereka satu persatu, tidak ada yang tertawa atau bahkan tersenyum.
"Se..serius nih...?" lanjutku
"Yep!" Setyo menyahut
“Setelah apa yang kita alamin bareng-bareng? Tentu kita serius dong! Kita juga kangen Ira…” Angel menyahut diiringi anggukan mantap tiap anak.
“HAH?!!” aku hanya bisa melongo
TAMAT
@
0 komentar:
Posting Komentar - Kembali ke Konten